PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP
ANAK KORBAN KEKERASAN
(Tinjauan Hukum terhadap Kebijakan
Publik)
Diajukan untuk
memenuhi tugas :
Mata Kuliah : Hukum dan Kebijakan Publik
Dosen :
(LAMBANG/LOGO KAMPUS)
Oleh :
NIM :
Program Studi :
PROGRAM PASCASARJANA
MAGISTER (S-2) ILMU HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
2013
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP
ANAK KORBAN KEKERASAN
(Tinjauan Hukum terhadap Kebijakan Publik)
A. Pendahuluan
Menteri
Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Amalia Sari Gumelar
mengatakan Rabu (20/3) bahwa tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak di
Indonesia semakin memprihatinkan, dengan kasus mulai dari kekerasan fisik yang
dilakukan orang tua terhadap anak hingga kekerasan seksual.[1]
Di Jakarta Kekerasan
pada anak dan perempuan makin meningkat. Berdasarkan data Pusat Pelayanan
Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Provinsi DKI Jakarta, pada
tahun 2011 kekerasan mencapai 1.381 kasus dan tahun 2012 melonjak menjadi
1.429 kasus.[2]
Hak asasi perempuan dan
hak asasi anak adalah bagian dari hak asasi manusia, karena perempuan dan anak
adalah bagian dari manusia. Sebagai manusia, perempuan dan anak mempunyai hak
yang sama, mereka merupakan komposisi penting dalam sebuah bangsa yang dapat
melakukan peran serta dalam pembangunan nasional.
Hak perempuan dan anak yang diakui oleh dunia
internasional salah satunya adalah hak untuk tidak mengalami penganiayaan atau
kekejaman lain atau perilaku penyiksaan secara tidak manusiawi atau
sewenang-wenang, sehingga diperlukan adanya suatu kepastian perlindungan hukum
terhadap perempuan dan anak dari
perbuatan kekerasan baik yang dilakukan dalam keluarga maupun di luar keluarga.
Rumah tangga
seharusnya adalah tempat berlindung bagi seluruh anggota keluarga, akan tetapi
pada kenyataannya, justru banyak rumah tangga menjadi tempat penderitaan dan
penyiksaan karena terjadi tindakan kekerasan. Kekerasan dalam rumah tangga
(KDRT) sebenarnya adalah setiap perbuatan yang dilakukan seseorang atau
beberapa orang terhadap orang lain, yang berakibat atau mungkin berakibat
kesengsaraan atau penderitaan secara
fisik, seksual, dan, atau psikologis, termasuk ancaman perbuatan tertentu,
pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang atau
penekanan secara ekonomis
yang terjadi dalam
lingkup rumah tangga. [3]
Ketidakadilan terhadap
perempuan dalam peranannya di masyarakat, akhir-akhir ini berkembang isu
mengenai gender.Gender adalah perbedaan jenis kelamin berdasarkan pembagian
peran dan tanggung jawab wanita dan laki-laki yang ditentukan dalam masyarakat.
Di dalam pengertian gender muncul suatu pandangan bahwa wanita memiliki sifat
yang lemah, lembut, telaten, sabar, dan lebih mengutamakan perasaan dari pada pikiran. Di dalam lingkungan kehidupan masyarakat,
sering dijumpai sikap atau perilaku yang mendiskriditkan dan mendeskriminasikan
perempuan, hal ini dapat ditemui dalam kehidupan sehari-hari baik dalam
lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat, lingkungan kerja sampai Negara.
Ketidakadilan gender termanifestasi dalam berbagai bentuk yaitu :
1.
Marginalisasi,
yaitu proses pemiskinan ekonomi.
2.
Subordinasi,
yaitu suatu anggapan tidak penting dan rendah.
3.
Stereotipe,
adanya diskriminasi dan pelabelan peran.
4.
Kekerasan atau Violence
5.
Multi/double
burden atau bekerja lebih panjang dan banyak.[4]
Sebagaimana
disebut dalam Pembukaan UUD 1945 bahwa melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia, maka penulis tertarik untuk mengkaji kebijakan
publik yang dilakukan pemerintah dalam melindungi anak dan perempuan dari
kekerasan.
B. Rumusan
Masalah
Berdasar uraian di atas makalah ini berusaha menjawab
pertanyaan bagaimanakah kebijakan perlidungan hukum terhadap anak korban
kekerasan?
C. Pembahasan
1. Pengertian Kebijakan Publik
Pengertian kebijakan publik dapat dilihat dari pendapat
beberapa ahli.Menurut Candler dan Plano dalamHesel Nogi S. Tangkilisan,
kebijakan publik adalah pemanfaatan yang strategis terhadap
sumberdaya-sumberdaya yang ada untuk memecahkan masalah-masalah publik atau
pemerintah.[5] Pendapat
lain menyatakan bahwa kebijakan publik adalah jalan mencapai tujuan bersama
yang dicita-citakan.[6]
a. Kebijakan publik selalu mempunyai tujuan
tertentu dan mempunyai tindakan-tindakan yang berorientasi kepada tujuan;
b. Kebijakan publik berisi tindakan-tindakan
pemerintah;
c. Kebijakan publik merupakan apa yang
benar-benar dilakukan oleh pemerintah, jadi bukan merupakan apa yang masih
dimaksudkan untuk dilakukan;
d. Kebijakan publik yang diambil bisa bersifat
positif dalam arti merupakan tindakan pemerintah mengenai segala sesuatu
masalah tertentu, atau bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan
pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu;
e. kebijakan pemerintah setidak-tidaknya dalam
arti positif didasarkan pada peraturan perundangan yang besifat mengikat dan
memaksa.[7]
Berbagai pengertian kebijakan publik di atas mempunyai
implikasi sebagai berikut :
a. Bahwa kebijakan publik itu bentuk awalnya
adalah merupakan penetapan tindakan-tindakan pemerintah,
b. Bahwa kebijakan publik tersebut tidak cukup
hanya dinyatakan dalam bentuk teks-teks formal, namun juga harus dilaksanakan
atau dimplementasikan secara nyata,
c. Bahwa kebijakan publik tersebut pada
hakekatnya harus memiliki tujuan-tujuan dan dampak-dampak, baik jangka panjang
maupun jangka pendek, yang telah dipikirkan secara matang terlebih dahulu,
d. Dan pada akhirnya segala proses yang ada di
atas diperuntukkan bagi pemenuhan kepentingan masyarakat.[8]
Dengan demikian kebijakan publik umumnya harus
dilegalisasikan dalam bentuk hukum, serta pada dasarnya sebuah hukum adalah
hasil kebijakan publik.[9]Dalam
suatu rechtsstaat yang modern, fungsi perundang-undangan bukanlah hanya
memberi bentuk kepada endapan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dan
hidup dalam masyarakat, dan undang-undang bukanlah hanya sekedar produk fungsi
negara di bidang pengaturan.Perundang-undangan adalah salah satu metode dan
instrumen ampuh yang tersedia untuk mengatur dan mengarahkan kehidupan
masyarakat menuju cita-cita yang diharapkan.[10]
Oleh karena itu perlindungan hukum terhadap anak sebagai
sebuah kebijakan publik harus menerapkan asas legalitas, yaitu bahwa kebijakan
publik atau tindakan pemerintah mengenai segala sesuatu masalah tertentu, harus
didasarkan pada peraturan perundangan.
2. Perlindungan Hukum terhadap Anak
Perlindungan adalah adalah suatu bentuk pelayanan yang
wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum atau aparat keamanan untuk
memberikan rasa aman baik fisik maupun mental, kepada korban dan saksi, dari
ancaman, ganguan, teror, dan kekerasa dari pihak manapun, yang diberikan pada
tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan atau pemeriksaan di sidang
pengadilan.[11]
Pengertian Anak adalah setiap manusia yang berusia di
bawah 18 tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam dalam
kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.[12] Pengertian
anak menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak adalah
orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun
tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.[13]
Sedangkan menurut perspektif Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan.[14]
Korban adalah orang atau kelompok orang yang mengalami
penderitaan secara fisik, mental, maupun emosional serta mengalami kerugian
ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan dan perampasan hak – hak
dasarnya sebagai akibat langsung dari pelanggaran hak asasi manusia.[15]
Kekerasan adalah hal yang bersifat atau berciri keras
yaitu perbuatan seseorang yang menyebabkan cedera atau menyebabkan kerusakan
fisik atau barang yang orang lain atau paksaan. Secara spesifik yang dimaksud
kekerasan seksual adalah suatu prilaku seksual deviatif atau menyimpang,
merugikan korban dan merusak kedamaian di masyarakat.[16]
Pengertian Perlindungan hukum terhadap perempuan dan
anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi perempuan dan anak
atas hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh berkembang dan berpartisipasi aktif
secara optimal, sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat
perlindungan dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi dalam rangka
mewujudkan generasi penerus yang berkualitas, berahlak mulia dan sejahtera.
Rasa aman merupakan kebutuhan hakiki bagi setiap orang termasuk perempuan dan
anak kerena tanpa adanya rasa aman maka masyarakat cenderung untuk khawatir dan
terganggu dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari.[17]
Secara umum definisi kekerasan adalah semua bentuk
prilaku, baik verbal/ ucapan (antara lain : makian, ancaman, penghinaan) maupun
non verbal/ tindakan (misalnya : pemukulan, perkosaan) yang dilakukan oleh
seorang atau sekelompok orang sehingga berakibat merendahkan, menyakiti atau
merugikan (memberi efek negatif) baik secara fisik, seksual, mental, emosional-psikologis
ataupun finansial ekonomi.[18]
Terdapat banyak bentuk kekerasan terhadap perempuan
dan anak di antaranya yang paling umum /
sering terjadi adalah :
a. Pelecehan
Seksual dan Perkosaan :
Meliputi komentar, gurauan yang tidak senonoh, mencolek, meraba,
mengelus, memeluk, mencium, menunjukkan gambar porno, memaksa atau mengancam
untuk melakukan sesuatu yang tidak senonoh sampai perkosaan.
Pelecehan seksual dapat terjadi pada perempuan segala umur, bahkan pada
anak laki-laki dan perempuan. Pelakunya pada umumnya adalah laki-laki yang
memiliki power / posisi kekuasaan lebih tinggi misalnya atasan terhadap
bawahan, orang tua / paman terhadap anak, guru terhadap murid, pemberi pekerja
terhadap percari kerja, ataupun orang-orang lain yang tak dikenal. Namun berdasarkan
fakta-fakta pelaku perkosaan sebagian besar adalah orang dikenal korban
sehingga perkosaan dikelompokkan dalam 3 jenis, yaitu :
1) Incest
Yaitu perkosaan yang dilakukan oleh anggota keluarga atau orang yang
telah dianggap sebagai keluarga.
2) Marital Rape
Yaitu perkosaan yang dilakukan oleh suami terhadap isterinya.
3) Dating Rape
Yaitu perkosaan yang dilakukan oleh pacar atau teman kencan.
b. Kekerasan
Dalam Rumah Tangga.
Yang dimaksud dengan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan
terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan
atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah
tangga, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (Pasal 1
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga).
Sebagai anggota keluarga yang paling mudah dan tidak berdaya seringkali
anak-anak menjadi korban orang tuanya / orang dewasa antara lain :
1)
Menjadi pelampiasan kemarahan apabila
orangtua mempunyai masalah.
2)
Dimarahi atau dipukul atau dihukum
apabila tidak patuh terhadap kehendak orangtua.
3)
Membebani anak dengan tugas-tugas yang
belum semestinya (ikut mencari nafkah, melakukan pekerjaan rumah tangga,
seperti mengasuh adik, bertani dan lain-lain).
4)
Dirampas hak-haknya untuk berpendapat,
berbicara, dan menentukan pilihan.
c. Bentuk-bentuk
kekerasan terhadap anak sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun
2002 Tentang Perlindungan Anak adalah sebagai berikut :
1) Diskriminasi
terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami kerugian, baik materiil maupun
moril sehingga menghambat fungsi sosialnya.
2) Penelantaran
terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami sakit atau penderitaan, baik
fisik, mental, maupun sosial.
3) Eksploitasi
ekonomi dan sosial terhadap anak dalam bentuk perdagangan anak, dan
mempekerjakan anak lebih dari ketentuan yang berlaku.
4) Melibatkan
anak dalam politik, konflik bersenjata, kekerasan sara, dan perbuatan yang
mengandung unsur kekerasan lainnya.
5) Memberikan
ancaman kekerasan kepada anak.
6) Melibatkan
anak dalam perdagangan dan produksi narkotika, psikotropika, dan zat adiktif
lainnya (Napza).
7) Kekerasan
seksual.
8) Pengambilan
organ tubuh anak atau transplantasi tanpa ijin wali anak dan tanpa
memperhatikan kepentingan kesehatan anak tersebut.
9) Memaksa
dan atau membujuk anak untuk memeluk suatu agama
Pelaku kekerasan terhadap anak diancam dengan sanksi
pidana sebagaimana diatur dalam berbagai peraturan, antara lain:
a. Undang-Undang
Nomor 23 tahun 2004 : Pasal 44 s.d. Pasal 55
b. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak:
Pasal 77 s.d. Pasal 90
Perlindungan Terhadap anak juga dilakukan dengan menerbitkan
peraturan-peraturan sebagai berikut:
1) Undang
– undang Dasar 1945 Pasal 28b Ayat 2
2) Undang
– undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak (Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3143)
3) Undang
– undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Tambahan Lembaran Negara Nomor 3277)
4) Undang
– undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM (Tambahan Lembaran Negara Nomor 3886)
5) Undang
– undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Ratifikasi ICESCR (Pasal 10, Pasal 12 Ayat
(2), dan Pasal 13 Ayat (3))
6) Undang
– undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi ICCPR (Pasal 14 Ayat (1), Pasal
18 Ayat (4), Pasal 23 Ayat (4) dan Pasal 24).
7) Keppres
Nomor 40 Tahun 2004 tentang Pertahanan Keamanan 2004 – 2009 tentang Memasukan
Agenda Ratifikasi Protokol Opsional Konvensi Hak Anak tentang Perdagangan Anak,
Pornografi Anak, dan Prostitusi Anak (2005) dan Protokol Opsional Konvensi Hak
Anak entang Kterlibatan Anak dalam Konflik Senjata (2006)
8) Keppres
Nomor 59 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Penghapusan Bentuk – bentuk Pekerjaan
Terburuk untuk Anak
9) Keppres
Nomor 87 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksplotasi
Seksual Komersial Anak (ESKA)
10) Keppres Nomor 88 Tahun
2002 tentang tentang Rencana Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak (RAN
P3A). Peraturan hukum ini dapat digolongkan sebagai aturan yang bersifat
mendasar.[19]
D. Penutup
Anak adalah aset paling penting masa depan bangsa Indonesia . Oleh
karena itu melindungi anak berarti mempersiapkan maasa depan negara. Negara
telah mengatur berbagai kebijakan dalam bentuk peraturan perundang-undangan
perlindungan anak, serta melaksanakan berbagai program guna tercapainya
perlindungan terhadap anak dari kekerasan.
DAFTAR
PUSTAKA
A. Hamid Attamimi, Teori Peraturan
perundang-undangan Indonesia ,
Fakultas Hukum UI, Jakarta , 1992
Gatot Supramono, 2007, Hukum Acara Pengadilan Anak,Cet. ketiga, Djambatan, Jakarta .
Hadi Setia T, 2003, UU RI No 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, Harvarindo, Jakarta .
Hesel Nogi S. Tangkilisan, 2003, Kebijakan Publik Yang Membumi, Konsep,
Strategi dan Kasus, Yayasan Pembaharuan Administrasi Publik Indonesia , Yogyakarta .
http://id.wikipedia.org/wiki/Kekerasan_terhadap_anak
http://www.poskotanews.com/2013/03/25/kekerasan-terhadap-anak-dan-perempuan-meningkat/
http://www.voaindonesia.com/content/tindak-kekerasan-terhadap-perempuan-dan-anak-semakin-parah/1625738.html
Lembaga Bantuan Perlindungan Perempuan dan Anak Derap
Warapsari, 2003, Perlindungan Terhadap Perempuan dan Anak Yang Menjadi
Korban Kekerasan, Bhara Kerta Inkoppol, Jakarta.
M. Marwas & Jimmy P, Kamus Hukum, Dictionary of Law Complete Edition, Cetakan 1,
Reality Publisher, Surabya, 2009.
Peraturan Pemerintah No 2 Tahun 2002 tentang Tata cara
Perlindungan Korban dan Saksi Dalam Pelanggaran HAM Yang Berat
Riant Nugroho D, 2003, Kebijakan Publik, Formulasi Implementasi dan Evaluasi, PT.
Elex Media Komputindo, Jakarta.
Rika Saraswati, Hukum
Perlindungan Anak di Indonesia, Cetakan 1, Citra Aditya Bakti, 2009.
Saiful Bahri, 2004, Hukum dan Kebijakan Publik,
Yayasan Pembaruan Administrasi Publik Indonesia ,
Yogyakarta .
Supanto, 1999, Masalah
Korban Kejahatan, Akademika Pressindo, Jakarta .
[1]
http://www.voaindonesia.com/content/tindak-kekerasan-terhadap-perempuan-dan-anak-semakin-parah/1625738.html
[2]
http://www.poskotanews.com/2013/03/25/kekerasan-terhadap-anak-dan-perempuan-meningkat/
[3]Supanto, 1999, Masalah
Korban Kejahatan, Akademika Pressindo, Jakarta , hal. 13
[4] Lembaga
Bantuan Perlindungan Perempuan dan Anak Derap Warapsari, 2003, Perlindungan Terhadap Perempuan dan Anak Yang Menjadi
Korban Kekerasan, Bhara Kerta Inkoppol, Jakarta, hal.5
[5]
Hesel Nogi S. Tangkilisan, 2003, Kebijakan
Publik Yang Membumi, Konsep, Strategi dan Kasus, Yayasan Pembaharuan
Administrasi Publik Indonesia, Yogyakarta, hal. 1.
[6]
Riant Nugroho D, 2003, Kebijakan
Publik, Formulasi Implementasi dan Evaluasi, PT. Elex Media
Komputindo, Jakarta, hal. 51.
[7]
Hesel Nogi S. Tangkilisan, op.cit., hal. 2.
[8]Ibid.,
hal. 25.
[9]Saiful
Bahri, 2004, Hukum dan Kebijakan Publik, Yayasan Pembaruan Administrasi
Publik Indonesia , Yogyakarta , hal. 32
[10]A.
Hamid Attamimi, Teori Peraturan perundang-undangan Indonesia, Fakultas
Hukum UI, Jakarta, 1992, hal. 8.
[11]
Peraturan Pemerintah No 2 Tahun 2002 tentang Tata cara Perlindungan Korban dan
Saksi Dalam Pelanggaran HAM Yang Berat
[12]
M. Marwas & Jimmy P, Kamus Hukum,
Dictionary of Law Complete Edition, Cetakan 1, Reality Publisher,
Surabya, 2009, hal 258.
[13]
Gatot Supramono, 2007, Hukum Acara
Pengadilan Anak,Cet. ketiga, Djambatan, Jakarta , hal. 134
[14]Hadi Setia T, 2003, UU RI No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak, Harvarindo, Jakarta ,
hal. 5
[15]
M. Marwas & Jimmy P, Op. Cit., hal 383.
[16]
Ibid. hal 343
[17]
Surat Keputusan Kapolri Mo.Pol.: Skep/831/XI/2005 tanggal 25 Nopember 2005, Pedoman Pembentukan dan Pembinaan Kelompok
Sadar Kamtibmas, Mabes Polri, Jakarta, hal.1
[18]
http://id.wikipedia.org/wiki/Kekerasan_terhadap_anak
[19]
Rika Saraswati, Hukum Perlindungan Anak
di Indonesia, Cetakan 1, Citra Aditya Bakti, 2009, Hal 33 – 36.
No comments:
Post a Comment
Silahkan Komentar!