Diajukan
untuk memenuhi tugas :
Mata Kuliah :
Dosen :
(LAMBANG/LOGO KAMPUS)
Oleh :
……………..
NIM : MH.
Program Studi : Ilmu Hukum
PROGRAM PASCASARJANA
MAGISTER (S-2) ILMU HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
2013
PERBANDINGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN
1986 DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 51 TAHUN 2009
A. Pendahuluan
Dalam menjalankan tugasnya pejabat
negara menetapkan sesuatu dengan membuat surat
keputusan. Dalam praktek ada keputusan pejabat negara yang oleh orang/badan
yagn dikenai keputusan pejabat menganggap bahwa keputusan itu tidak benar, atau
tidak adil. Artinya ada sengketa antara pejabat negara dengan pribadi atau
badan hukum. Sengketa ini merupakan wilayah sengketa tentang kerputusan tata
usaha negara.
Dikeluarkannya suatu Keputusan Tata
Usaha Negara (KTUN) bisa saja menimbulkan sengketa yakni antara orang atau
badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di pusat
maupun di daerah. Sengketa TUN ini juga termasuk sengketa kepegawaian
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Keputusan Tata Usaha Negara adalah
suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final,
yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Sengketa Tata Usaha Negara adalah
sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan
hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun
di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk
sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Untuk mewujudkan hadir Peradilan Tata
Usaha Negara, maka pada tanggal 29 Desember 1986 Presiden mensahkan
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Kemudian
pada tanggal 29 Maret 2004 disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 9
Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara. Selanjutnya seiring dengan perubahan dan
perkembangan ketatanegaraan terkahir kali UU tersebut diubah dengan Undang-Undang
Nomor 51 Tahun 2009TentangPerubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
Tentang Peradilan TataUsaha Negara
B. Rumusan
Masalah
Berdasar uraian di atas dalam makalah ini dapat
diajukan rumusan masalah: bagaimanakah perbandingan andara Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1986 Dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009?
C. Pembahasan
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara lahir di masa Orde Baru, sedangkan
penggantinya Undang-undang Nomor 9 tahun 2004 lahir di masa reformasi setelah
terjadinya perubahan dalam ketatanegaraan setelah adanya amandemen UUD 1945.
Dengan demikian tentunya terdapat perbedaan yang cukup berarti dalam kedua
Undang-undang tersebut.
Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis
yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan
hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat
hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Selanjutnya mengenai apada apa
yang tidak termasuk dalam Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang diatur dalam
Pasal 2 UU No. 5/1986 terdapat perubahan yakni pada huruf (f) Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata
usaha Angkatan Bersenjata Republik Indonesia; dan g. Keputusan Panitia
Pemilihan, baik di pusat maupun di daerah, mengenai hasil pemilihan umum. Oleh
UU No. 9/2004 dan tetap dipertahankan dalam UU 51/2009 diubah menjadi : f.
Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia; dan
g. Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai
hasilpemilihan umum. Hal ini wajar karena adanya perubahan nama pada ABRI
menjadi TNI dan perubahan penyelenggara Pemilu.
Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah
mengenai hasil pemilihan umum memang tidak menjadi wewenang dari PTUN karena
untuk segala perselisihan hasil pemilu menjadi wewenang dari Mahkamah
Konstitusi berdasarkan pada Perubahan UUD 1945 yang juga melahirkan sebuah
lembaga negara baru di bidang kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah Konstitusi
dengan wewenang sebagai berikut:
- menguji
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar;
- memutus
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar;
- memutus
pembubaran partai politik;
- memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Memang
beberapa perubahan hanya terjadi karena perubahan nama atau istilah yang
dipakai akibat dari perkembangan ketatanegaraan. Misalnya lagi Pasal 4, istilah
“pelaksana” kekuasaan kehakiman berganti menjadi “pelaku”kekuasaan kehakiman.
Selanjutnya istilah kotamadya/kabupaten diubah menjadi Kabupaten/Kota, sesuai
perubahan istilah yang dipakai dalam UU Pemerintahan Daerah.
Pada
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 wewenang dari Mahkamah Agung terbatas mengenai
pembinaan teknis peradilan, sedangkan pembinaan organisasi serta keuangan yang
berada ditangan Departemen Kehakiman. Dalam hal ini pada Undang-Undang Nomor 9
Tahun 2004 mengatur secara tegas bahwa Mahkmah Agung memiliki kewenangan untuk
melakukan pembinaan teknis peradilan,organisasi, administrasi, dan finansial
Pengadilan.
Perubahana
ini berangkat dari Kebijakan atap tunggal atau one roof system adalah
persoalan independensi kekuasaan kehakiman (yudikatif).
Didahului
Tap MPR X/1998 yang menetapkan kekuasaan kehakiman bebas dan terpisah dari
kekuasaan eksekutif, kebijakan satu atap kemudian diatur dan dijabarkan dalam
UU Nomor 35/1999 tentang Perubahan UU Nomor 14/1970, dan telah dicabut serta
dinyatakan tidak berlaku oleh UU Nomor 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Adapun tentang MA diatur dalam UU Nomor 5/2004 tentang Perubahan atas UU Nomor
14/1985. Selanjutnya, Keppres Nomor 21/2004 tentang Pelaksanaan Pengalihan
Urusan Organisasi, Administrasi, dan Finansial Lembaga Peradilan dari Depkeh ke
MA.
UU
Nomor 4/2004 menentukan, untuk lingkungan peradilan umum dan peradilan tata
usaha negara, peralihan sudah selesai paling lambat 31 Maret 2004. Untuk
peradilan agama, dan peradilan militer, peralihan harus selesai paling lambat
30 Juni 2004. Dengan UU Nomor 5/2004, struktur MA mengalami perubahan, ada dua
wakil ketua dari sebelumnya yang hanya satu. Jabatan panitera dan sekretaris MA
dipisahkan. Pada sekretariat MA dibentuk beberapa direktorat jenderal dan
kepala badan. Diharapkan, struktur baru ini bisa memikul beban yang dialihkan.
Undang-Undang
Nomor 51 Tahun 2009Pasal 9A yang telah disisipkan dalam Pasal 9A UU No. 9/2004
sehingga menjadi
(1)
Di lingkungan peradilan tata usaha negara dapat dibentuk pengadilan khusus yang
diatur denganundang-undang.
(2)
Pada pengadilan khusus dapat diangkat hakim ad hoc untuk memeriksa, mengadili,
dan memutusperkara yang membutuhkan keahlian dan pengalaman dalam bidang
tertentu dan dalam jangkawaktu tertentu.
(3)
Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian serta
tunjangan hakimad hoc diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Mengenai
pengawasan umum terhadap hakim, sehubungan dengan perubahan pada Undang-undang
Mahkamah Agung maka terjadi perubahan pengawan. Menurut Pasal 13 UU No. 51/1986
Pembinaan dan pengawasan umum terhadap Hakim sebagai pegawai negeri, dilakukan
oleh Menteri Kehakiman. Sedangkan dalam UU No. 5/2009 Pengawasan internal atas
tingkah laku hakim dilakukan oleh Mahkamah Agung (Pasal 13A). Dalam UU ini pula
disebutkan Selain pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk menjaga
dan menegakkankehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, pengawasan
eksternal atas perilaku hakimdilakukan oleh Komisi Yudisial.
Untuk
dapat diangkat menjadi hakim pada PTUN (Pasal 14) terjadi perbedaan dalam kedua
UU tersebut. Menurut UU No. 5 /1986 , syaratnya
sebagai berikut :
a. warga negara Indonesia ;
b. bertaqwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa;
c. setia kepada
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
d. bukan bekas
anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia , termasuk organisasi
massanya atau bukan seseorang yang terlibat langsung ataupun tak langsung dalam
"Gerakan Kontra Revolusi G.30.S/PKI" atau organisasi terlarang
lainnya;
e. pegawai negeri;
f.
sarjana hukum atau sarjana lain yang memiliki keahlian di
bidang Tata Usaha Negara;
g. berumur
serendah-rendahnya dua puluh lima
tahun;
h. berwibawa,
jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela.
Sedangkan
menurut UU 51 tahun 2009 calon hakim harus memenuhisyarat sebagai berikut:
a. warga negara Indonesia ;
b. bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa;
c. setia kepada
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
d. sarjana hukum;
e. lulus pendidikan hakim;
f.
berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
g. berusia paling
rendah 25 (dua puluh lima )
tahun dan paling tinggi 40 (empat puluh) tahun;
h. mampu secara
rohani dan jasmani untuk menjalankan tugas dan kewajiban; dan
i.
tidak pernah dijatuhi pidana penjara karena melakukan
kejahatan berdasarkan putusan
j.
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Hal
yang dirasa cukup krusial dalam kedua UU tersebut dapat dilihat pada tabel
berikut:
UU No. 5 Tahun 1986
Pasal 116
|
UU No. 51 Tahun 2009
Pasal 116
|
1) Salinan putusan
Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dikirimkan kepada para pihak dengan surat tercatat oleh Panitera
Pengadilan setempat atas perintah Ketua Pengadilan yang mengadilinya dalam
tingkat pertama selambat-lambatnya dalam waktu empat belas hari;
|
1) Salinan putusan Pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dikirimkan kepada para pihak dengan
|
2) Dalam hal empat
bulan setelah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikirimkantergugat
tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9)
huruf a, maka Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan itu tidak
mempunyai kekuatan hukum lagi.
|
2) Apabila setelah
60 (enam puluh ) hari kerja putusan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima tergugat tidak melaksanakan
kewajibannya sebagaimana dimaksud pada ayat dalam pasal 97 ayat (9) huruf a
keputusan tata usaha Negara yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan
hukum lagi.
|
3) Dalam hal tergugat ditetapkan
harus melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97
ayat (9) huruf b dan c, dan kemudian setelah tiga bulan
ternyata kewajibannya tersebut tidak dilaksanakannya, maka penggugat
mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), agar Pengadilan memerintahkan tergugat melaksanakan putusan tersebut;
|
3) Dalam hal tergugat ditetapkan
harus melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9)
ayat (9) huruf b dan c, dan kemudian setelah 90 (sembilan puluh) hari
kerjaternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakan, maka
penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) agar Pengadilan memerintahkan tergugat melaksanakan putusan
pengadilan tersebut;
|
4) Jika
tergugat masih tidak mau melaksanakannya, ketua Pengadilan mengajukan hal ini
kepada instansi atasannya menurut jenjang jabatan;
|
4)
Dalam hal tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan Pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat bersangkutan dikenakan
upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan atau sanksi
adminsitratif;
|
5)
Instansi atasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), dalam waktu dua bulan
setelah pemberitahuan dari Ketua pengadilan harus sudah memerintahkan pejabat
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) melaksanakan putusan Pengadilan tersebut
|
5) Pejabat yang tidak melaksanakan
putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dimumkan pada media
|
6) Dalam
hal instansi atasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), tidak mengindahkan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), maka Ketua Pengadilan
mengajukan hal in kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintah
tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut melaksanakan putusan
pengadilan tersebut.
|
6) Disamping
diumumkan pada media
|
7) Ketentuan mengenai besaran uang paksa, jenis sanksi administratif, dan
tata cara pelaksanaan pembayaran uang paksa dan/ atau sanksi administrative
diatur dengan peraturan perundang-undangan.
|
Dalam
Ayat 1 tersebut, Mengenai pengiriman salinan putusan PTUN baik UU No. 5/1986
maupun UU No. 51/2009 memberi batas waktu paling lambat 14 hari hari. Namun
dalam UU No. 5 Tahun 1986 tidak jelas yang dimaksud hari kerja atau hari
kalender, meskipun bisa ditafsirkan secara nalar bahwa yang dimaksud adalah
hari kerja karena apakah mungkin hari libur/bukan hari kerja ikut dihitung
dalam hitungan 14 hari tersebut. Namun dalam UU No. 51 Tahun 2009 secara jelas
menyebut dengan “14 hari kerja”.
Tentang
akibat tidak dilaksanakannya Putusan PTUN oleh tergugat yang mengakibatkan
Keputusan TUN yang disengketakan tersebut menjadi tidak mempunyai kekuatan
hukum UU No. 5/1986 menenetukan empat bulan setelah putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dikirimkan tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf a, maka Keputusan Tata Usaha Negara yang
bersangkutan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi. Sedangkan dalam UU No.
51/2009 menentukan setelah 60 (enam puluh ) hari kerja putusan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima
tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada ayat
dalam pasal 97 ayat (9) huruf a keputusan tata usaha Negara yang disengketakan
itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.
Dalam
ayat 2 tersebut perbedaannya memakai istilah “empat bulan” sehingga hal ini
tidak pasti karena umur bulan itu berbeda-beda, sedangkan yang satunya memakai
istilah yang lebih pasti yaitu: 60 (enam puluh ) hari kerja. Juga perbedaan
penggunaan kata dikirimkan kepada tergugat menjadi tidak pasti pada apakah
tergugat sudah menerima salinan putusan tersebut dan tidak diketahui dengan
pasti apakah tergugat mengetahui adanya putusan PTUN tersebut. Sedangkan UU 51
lebih pasti karea memakai istilah “diterima tergugat”, sehingga dapat
dipastikan tergugat mengetahui adanya putusan tersebut.
Ayat
3 juga terjadi perubahan dari
istilah tiga bulan menjadi kata yang
lebih pasti yaitu 90 (sembilan puluh) hari kerja.
Ayat 4 dalam hal tergugat masih tidak mau melaksanakan putusan dalam
UU No. 5/1986 dengan jalan ketua Pengadilan mengajukan hal ini kepada instansi
atasannya menurut jenjang jabatan, selanjutnya dalam waktu dua bulan harus
melaksanakan putusan tersebut. Selanjutnya jika tetap tidak mengindahkan, maka
Ketua Pengadilan mengajukan hal ini kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan
pemerintah tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut melaksanakan putusan
pengadilan tersebut. Hal ini tentunya memakan waktu yang tidak sebentar.
Sedangkan dalam UU No. 51/2009 lebih sederhana yaitu dengan upaya paksa
berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan atau sanksi adminsitratif. Pejabat yang tidak melaksanakan putusan
pengadilan tersebut diumumkan pada media massa
cetak setempat oleh panitera sejak tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) yaitu yaitu 90 (sembilan puluh) hari kerja. Disamping diumumkan pada media massa cetak setempat,
ketua pengadilan harus mengajukan hal ini kepada Presiden sebagai pemegang
kekuasaan tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut melaksanakan putusan
pengadilan, dan kepada lembaga perwakilan rakyat untuk menjalankan fungsi
pengawasan.
UU No. 51/2009 memerintahkan bahwa ketentuan mengenai besaran uang paksa,
jenis sanksi administratif, dan tata cara pelaksanaan pembayaran uang paksa
dan/ atau sanksi administrative diatur dengan peraturan perundang-undangan.
D. Penutup
Perubahan terhadap suatu undang-undang umumnya terjadi karena adanya
perubahan pada apa yang diaturnya. Perubahan UU Peradilan Tata Usaha Negara,
terjadi karena perubahan ketatanegaraan dan perubahan beberapa undang-undang
yang terkait dengan tata usaha negara, baik istilah yang digunakan maupun
substansi pengaturan.
DAFTAR
PUSTAKA
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009TentangPerubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan TataUsaha Negara
R. Soegijatno Tjakranegara, 2002, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara di
Indonesia,Sinar Grafika
No comments:
Post a Comment
Silahkan Komentar!