|
ilustrasi |
Seks bebas yang dilakukan oleh remaja kian meningkat. Salah satu pemicunya, arus informasi yang tidak diimbangi dengan pengetahuan yang cukup tentang kesehatan reproduksi baik pada orangtua maupun anak.
Pendidikan seksual yang kurang diberikan orangtua pada anak, jadi salah satu alasan angka ini selalu menunjukkan peningkatan.
Beberapa penelitian mengungkap remaja perempuan dan laki-laki berusia 15-19 tahun yang melakukan seks pranikah makin tinggi. Bahkan, Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI) pada 2007 lalu menemukan, satu persen remaja wanita dan 6 persen remaja pria mengaku pernah melakukan seks di luar nikah.
Tak heran, jumlah kehamilan dan kelahiran di kalangan remaja juga tinggi. Sebuah studi lainnya pada 2010 di daerah kota besar seperti Jakarta menunjukkan 20,6 persen remaja mengalami kehamilan dan kelahiran sebelum menikah.
Tak hanya itu, seks bebas juga kerap berujung pada penyakit menular seksual, termasuk HIV/AIDS. Psikolog Baby Jim Aditya, pernah memaparkan kalau sebagian besar pengidap HIV/AIDS berada di usia produktif, yakni 20-29 tahun.
Hal ini karena kurangnya pengetahuan mereka mengenai kesehatan reproduksi. Dan, perilaku mereka yang sudah kadung bebas dan berisiko tidak diselaraskan pengetahuan penggunaan alat kontrasepsi, seperti kondom karena bentroknya kampanye kondom dengan nilai budaya.
Meski masih mensosialisasikan penggunaan kondom untuk melindungi kesehatan reproduksi pada remaja-remaja berisiko, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional
(BKKBN) Sugiri Syarief, memaparkan kalau pencegahan yang dilakukan oleh keluarga adalah faktor yang terpenting untuk menekan angka pertumbuhan seks bebas pada remaja.
"Di Indonesia, masalah yang umum terjadi adalah masalah komunikasi antara orangtua dan anak. Selain masih menganggap tabu, budaya di Indonesia itu adalah diam sehingga terjadi kesulitan berkomunikasi," ujarnya seusai peluncuran Global Youth Forum oleh United Nation Population Fund (UNFPA) bersama BKKBN.
Padahal lewat komunikasi orangtua dapat memberikan informasi-informasi seputar kesehatan reproduksi pria dan wanita. Termasuk, konsekuensi melakukan hubungan seks di usia dini.
"Jangan sampai hal ini justru disampaikan orang lain. Karena bagaimana pun, orangtua pasti akan lebih bijak dalam menyampaikannya," ujar Sugiri.
Sugiri juga menekankan materi pendidikan seks untuk anak laki-laki dan perempuan adalah sama. Meski penyampaiannya terkadang berbeda, tergantung dari situasi dan kondisi yang dibangun dalam keluarga. Menurutnya, orangtua sebaiknya tak hanya memberitahu anak perempuan bagaimana mereka menjaga keperawanan dan kesehatan reproduksinya, tapi juga anak laki-laki.
"Anak laki-laki juga harus tahu bagaimana menjaga kesehatan reproduksi perempuan agar mereka tidak semena-mena terhadap perempuan," kata Sugiri
Kampanye Generasi Berencana (GenRe)
Menurut Sugiri, pemerintah lewat BKKBN telah menjalankan kampanye Generasi Berencana atau GenRe. Kampanye ini tidak hanya menyediakan informasi pada anak remaja tetapi juga mengajarkan orang tua untuk menjalin komunikasi yang baik antara orang tua dan anak.
"Lewat pusat informasi konseling untuk remaja yang ada di hampir setiap sekolah, kita memberikan materi-materi kesehatan reproduksi, alat-alat reproduksi dan seksual. Untuk orangtua kita terobos dengan kelompok-kelompok bina keluarga remaja untuk menjalin komunikasi remaja dan orang tua," katanya.
Dari kampanye tersebut, selanjutnya dilakukan sensus. Hasil dari sensus ini nantinya akan dilihat bagaimana pengetahuan remaja terkait informasi soal seks yang benar.
"Hasilnya akan kita survei tahun ini melalui sensus demografi dan kesehatan sehingga akan terlihat bagaimana pemahaman remaja mengenai kesehatan reproduksi dan juga bagaimana sifat remaja terhadap orangtua," ujar Sugiri.