BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Manusia
adalah makhluk sosial, maka ia melakukan interaksi sebagai tuntutan
alam. Manusia tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dalam suasana yang
terisolasi. Dengan kata lain, manusia senantiasa membutuhkan bantuan
manusia lain.
Hukum
sebagai sesuatu yang berkenaan dengan manusia, maka hubungan manusia
dengan sesama manusia lainnya ada dalam suatu pergaulan hidup. Sebab
tanpa pergaulan hidup tidak akan ada hukum (ibi societas ibi ius, zoon politicon).
Hukum berfungsi untuk mengatur hubungan pergaulan antara manusia.
Tetapi tidak semua perbuatan manusia itu memperoleh pengaturannya. Hanya
perbuatan atau tingkah laku yang diklasifikasikan sebagai perbuatan
hukum saja yang menjadi perhatian. (Lili Rasjidi, 1982:8)
Hubungan
hukum itu terdiri dari ikatan-ikatan antara individu dengan individu
dan antara individu dengan masyarakat. Dalam usahanya mengatur, hukum
menyesuaikan dengan kepentingan masyarakat secara baik. Sebagai kumpulan
peraturan atau kaedah, hukum mempunyai isi yang bersifat umum dan
normatif, umum karena berlaku bagi setiap individu atau setiap orang,
normatif karena menentukan apa yang seyogyanya dilakukan dan apa yang
tidak boleh dilakukan, serta menentukan bagaimana cara melaksanakan
kepatuhan pada kaedah-kaedah.
Kaedah
hukum bertujuan untuk melindungi kepentingan manusia sebagai makhluk
sosial. Karenanya kaedah tersebut harus ditaati, harus dilaksanakan dan
dipertahankan, tapi bukannya dilanggar. Melakukan pelanggaran terhadap
kaedah hukum dinilai buruk, sebaliknya patuh terhadap kaedah itu adalah
baik. Olehnya itu kaedah hukum dpat juga disebut sebagai kaedah etis. (Sudikno Mertokusumo,1991:36)
Etika
itu menyelidiki segala perbuatan manusia kemudian menetapkan hukum baik
atau buruk, tetapi bukanlah semua perbuatan itu dapat diberi hukum,
sebagaimana perbuatan manusia itu ada yang timbul tanpa kehendaknya
seperti bernapas, denyut jantung dan memicingkan mata dengan tiba-tiba.
Ada pula perbuatan manusia yang timbul karena kehendak dan setelah
dipikir masak-masak akan hasil dan akibatnya, sebagaimana orang yang
melihat pembangunan rumah sakit yang dapat memberi manfaat kepada orang
banyak untuk meringankan penderitaan yang sakit, kemudian ia lalu
bertindak untuk membangun rumah sakit itu. Begitu pula jika ada orang
bermaksud akan membunuh musuhnya, lalu memikirkan cara-caranya dengan
pikiran yang tenang, kemudian ia melakukan apa yang ia kehendaki. Inilah
perbuatan yang disebut perbuatan kehendak, yang dapat diberi hukum baik
atau buruk. (Ahmad Amin,1995:3)
Jadi
etika sebagai usaha manusia untuk menilai mana yang baik dan mana yang
buruk terhadap perbuatan yang dilakukan. Karena dengan mengetahui nilai
baik dan buruk itu, sehingga manusia terdorong untuk melakukan perbuatan
berdasarkan nilai itu tadi.
Jika
di dalam suatu masyarakat tertanam nilai kebaikan pada masing-masing
individu, maka nilai tersebut akan tercermin dalam perilakunya dengan
melakukan perbuatan baik, sehingga akan menjadi etika pada masing-masing
individu tersebut. Suatu ketika yang sudah tertanam kuat dalam
masyarakat akan memudahkan untuk menciptakan suatu kaedah, sehingga
kedamaian dapat diwujudkan.
B. Rumusan Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan masalahnya yaitu;
1. Apakah hukum itu ?
2. Apakah etika itu ?
3. Bagaimanakah hubungan antara hukum dan etika ? s
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hukum
Untuk
memperoleh gambaran mengenai defenisi hukum sangatlah sulit, tetapi
bukan berarti tidak perlu membuat suatu defenisi hukum. Menurut Achmad
Ali (2002:9-10) bahwa hukum merupakan sesuatu yang luas dan abstrak,
hukum terlalu luas aspeknya, meskipun dalam manifestasinya bisa berwujud
konkrit. Penggunaan defenisi hukum lebih banyak tergantung pada aspek
mana hukum itu dipandang. Sehubungan dengan hal tersebut, Rusli Effendy dkk (1991:6) mengutip pendapat Immanuel Kant menyatakan bahwa “noch suchen die juristen eine definition zu ihrem begriffe von recht”
artinya, tidak ada seorang jurispun yang dapat memberikan defenisi
hukum secara tepat. Kedua pernyataan pakar tersebut, memberikan isyarat
bahwa betapa hukum itu sulit untuk diberikan defenisi. Akan tetapi,
sebagai suatu pegangan untuk kelengkapan berbagai defenisi hukum, maka
dapat diambil pendapat beberapa pakar.
Hans
Kelsen mendefenisikan hukum sebagi suatu perintah memaksa terhadap
tingkah laku manusia, jadi hukum adalah kaidah primer yang menetapkan
sanksi-sanksi.Pandangan ini sangat mencerminkan ciri positivisnya,
Kelsen melihat hukum positif sebagai satu-satunya hukum, karena
memisahkan dari segala pengaruh anasir-anasir non hukum seperti moral,
politis, ekonomis, sosiologis, dan sebagainya. Pandangan semacam ini
tidak relevan lagi dalam masa modern ini. (Achmad Ali,2002:29)
Emmanuel
Kant mendefenisikan hukum sebagai suatu keseluruhan kondisi-kondisi di
mana terjadi kombinasi antara keinginan-keinginan pribadi seseorang
dengan keinginan-keinginan pribadi orang lain sesuai dengan hukum umum
mengenai kemerdekaan. Defenisi Kant tidak memisahan antara hukum dan
kaidah sosial lainnya. Jika hanya sekedar kondisi yang menciptakan
kombinasi keinginan pribadi seseorang dengan pribadi lainnya maka
kondisi seperti itu juga mampu diciptakan oleh kaedah sosial lainnya
seperti moral, kesopanan dan agama. (Ibid:27) Jadi defenisi tersebut,
lebih ditekankan pada aspek kepatuhan dan pembatasan terhadap kehendak
bebas dengan berdasar pada seperangkat peraturan. Dengan kata lain,
penekanannya terletak pada aspek ketaatan.
E.
Utrecht memberikan pula defenisi hukum yaitu himpunan petunjuk hidup
perintah dan larangan yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat,
yang seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang
bersangkutan, dan akibat pelanggaran dari petunjuk hidup tersebut dapat
menimbulkan tindakan oleh pemerintah atau penguasa masyarakat itu. Dari
defenisi ini Utrecht memandang hukum tidak sekedar kaedah, melainkan
juga sebagai gejala sosial dan sebagai kebudayaan. (Ibid:32) Defenisi
ini penekanannya terletak pada aspek kemanfaatan berupa jaminan
ketertiban pada warga masyarakat sebagai suatu komunitas.
Leon Duguit mendefenisikan hukum yang merupakan tingkah laku masyarakat, sebagai aturan yang
daya penggunaannya pada saat tertentu diindahkan oleh warga masyarakat
sebagai jaminan dari kepentingan bersama terhadap orang yang melakukan
pelanggaran. (Ibid:22) Sedang Grotius mendefenisikan “law is a rule of moral action obliging to that wich is right”(Ibid:27) (Hukum
adalah peraturan tentang tindakan moral yang menjamin keadilan). Kedua
defenisi tersebut, menunjukkan terhadap penekanan berupa jaminan
keadilan.
Curzon (1979:140) mendefenisikan hukum yakni, “Law
is the sum of the conditions of social life in the widest sense of the
term, as secured by the power of the states through the means of
external compulsion” (Hukum adalah sejumlah kondisi kehidupan sosial
dalam arti luas, yang dijamin oleh kekuasaan negara melalui cara
paksaan yang bersifat eksternal). Sejalan dengan hal tersebut, Achmad
Ali (2002:35) cenderung melihat hukum sebagai seperangkat kaedah atau
aturan yang tersusun dalam suatu sistem, yang berisikan
petunjuk tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh
manusia sebagai warga masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, yang
bersumber baik dari masyarakat sendiri maupun dari sumber lain, yang
diakui berlakunya oleh otoritas tertinggi dalam masyarakat tersebut,
serta benar-benar diberlakukan oleh warga masyarakat (sebagai suatu
keseluruhan) dalam kehidupannya, dan jika kaedah tersebut dilanggar akan
memberikan kewenangan bagi otoritas tertinggi untuk menjatuhkan sanksi
yang sifatnya eksternal.
Bagi
kalangan Muslim, yang dimaksudkan sebagai hukum adalah hukum Islam,
yaitu keseluruhan aturan hukum yang bersumber dari Al-Quran, dan dalam
kurun waktu tertentu lebih dikonkritkan oleh Rasulullah Muhammad SAW
dalam tingkah laku beliau, yang biasa disebut Sunnah Rasul.
Kaedah-kaedah yang bersumber dari Allah SWT kemudian lebih dikonkritkan
dan diselaraskan dengan kebututhan zamannya melalui ijtihad atau
penemuan hukum oleh para mujtahid dan pakar pada bidangnya
masing-masing. Seperti Al-Imam Abu Hamid Al-Ghazzali berpendapat bahwa;
“Fiqhi itu bermakna faham dan ilmu. Namun pada uruf ulama telah menjadi
sesuatu ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara yang tertentu bagi
perbuatan-perbuatan para mukallaf, seperti wajib, haram, mubah, sunnat,
makruh, shahih, fasid, bathil, qadla, ada dan sepertinya”. (Ibid:33-34)
Begitu
pula oleh Ahmad Zaki Yamani memberikan pengertian syariat Islam secara
luas dan sempit. Syariat Islam secara luas yaitu meliputi semua hukum
yang telah disusun dengan teratur oleh para ahli fiqhi dalam
pendapat-pendapatnya tentang persoalan di masa mereka, atau yang mereka
perkirakan akan terjadi kemudian, dengan mengambil dali-dalil langsung
dari Al-Quran dan Al-Hadits, atau sumber pengambilan hukum seperti ijma,
qiyas, istihsan, isitish-shab dan mashalih mursalah. Sedang syariat
Islam secara sempit adalah terbatas pada hukum-hukum yang berdalil pasti
dan tegas, yang tertera dala Al-Quran dan Hadits shaheh atau ditetapkan
dengan Ijma.(Ibid:34)
Berdasarkan
dengan beberapa pendefenisian hukum tersebut, maka dapat dikatakan
bahwa hukum merupakan persoalan suruhan dan larangan, baik secara
lahiriyah maupun bathiniyah, sehingga kalau suruhan itu dilaksanakan
tentu mendapat hadiah/pahala, dan jika larangan dilakukan tentu mendapat
sanksi/ganjaran. Dasarnya Al-Quran Surah An-Nisa ayat (59) yang
maksudnya: “Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah
Rasul-Nya dan orang-orang yang berkuasa di antara kamu, jika di antaramu
ada perbedaan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah
dan Rasulnya, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian, yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya.
Dengan
demikian itu, bahwa terjadinya perbedaan di antara para pakar tentang
pendefenisian hukum disebabkan oleh perbedaan sudut pandang. Betapa luas
aspek hukum sehingga menimbulkan beragam defenisi yang luas cakupannya.
Hukum terkadang dipandang dari sudut sosiologi, hukum biasanya ditinjau
dari aspek kesejarahan, serta hukum adakalanya dilihat dari segi
filsafat, dan dari segi agama.
B. Pengertian Etika
Pada
kehidupan manusia terentang dalam suatu jaringan norma-norma yang
berupa larangan, pantangan, kewajiban-kewajiban dan lain sebagainya.
Norma-norma itu terdiri atas norma-norma tehnis, norma sopan santun,
norma hukum, norma moral dan norma-norma keagamaan (A.Gunawan
Setiardja,1990:90). Norma-norma itulah yang menjadi kekuatan normatif
untuk diperhitungkan dan dipijakinya dalam kehidupan dan pencarian
pemenuhan kebutuhan hidup antar manusia.
Rumusan
tersebut kemudian ditarik dalam sebuah defenisi inti bernama “moral”
(etika). Orang tinggal menyebut seseorang yang melanggar hukum dengan
julukan sebagai penjahat atau pelecehan moral hukum. Seperti seseorang
yang melakukan perzinaan maka dapat disebut sebagai pelanggar moral
keagamaan. Juga seseorang yang melakukan satu jenis pelanggaran dapat
disebut sebagai pelanggar sekian macam kaedah moral. Kemudian jika
seseorang berbicara tentang hal-hal yang baik, hidup teratur, bekerja
sesuai dengan peraturan perundang-undangan, tidak melanggar aturan main,
maka hal itu sudah masuk dalam studi mengenai bagaimana hidup yang
berlandaskan etika dan bagaimana hidup yang disebut melanggar etika.
(Abdul Wahid,1997:2)
Bertens mengemukakan bahwa, “etika” berasal dari bahasa Yunani kuno “ethos” dalam bentuk tunggal yang berarti adat kebiasaan, adat isitadat dan akhlak yang baik. Bentuk jamak dari “ethos” adalah “ta etha”
artinya adat kebiasaan. Dari bentuk jamak tersebut, terbentuklah
istilah “etika” yang oleh filsuf Yunani Aristoteles dipakai untuk
menunjukkan filsafat moral. Berdasarkan asal usul kata “etika” ini, maka
diartikan ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat
kebiasaan. (Abdulkadir Muhammad, 2001:13)
W.J.S.
Poerwadarminta (1999:278) dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia mengartikan
etika adalah ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral).
Pandangan ini selain menyamakan antara etika dengan moral, juga
menyamakan etika dengan akhlak, yang dalam etika Islam dikategorikannya
pada dua akhlak, yaitu akhlak yang baik disebut “akhlaqul mahmudah” dan akhlak yang berkaitan dengan perilaku buruk disebut “akhlaqul madzmumah”.
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (Departemen Pendidikan Dan
Kebudayaan,1989:237) merumuskan pengertian etika dalam tiga arti yaitu:
1) ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan
kewajiban moral (akhlak); 2) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan
dengan akhlak; dan 3) nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu
golongan atau masyarakat.
Inu
Kencana Syafiie (1994:1) menjelaskan bahwa etika sama artinya dengan
kata Indonesia “kesusilaan” yang terdiri dari bahasa sansekerta “su”
berarti baik, dan “sila” berarti moral kehidupan. Jadi etika menyangkut
kelakuan yang menuruti norma-norma yang baik. Pengertian ini menempatkan
etika sebagai seperangkat norma dalam kehidupan manusia yang tidak
berbeda dengan norma-norma kesusilaan.
E.Sumaryono (1995:12) menjelaskan pula pengertian etika yaitu berasal dari istilah bahasa Yunani ethos
yang mempunyai arti adat istiadat atau kebiasaan yang baik. Bertolak
dari pengertian ini kemudian etika berkembang menjadi studi tentang
kebiasaan manusia berdasarkan kesepakatan, menurut ruang dan waktu yang
berbeda, yang menggambarkan perangai manusia dalam kehidupan pada
umumnya. Selain itu, etika juga berkembang menjadi studi tentang
kebenaran dan ketidak benaran berdasarkan kodrat manusia yang diwujudkan
melalui kehendak manusia. Berdasarkan perkembangan arti tadi, etika
dapat dibedakan antara etika perangai dan etika moral.
Etika
perangai adalah adat istiadat atau kebiasaan yang menggambarkan
perangai manusia dalam hidup bermasyarakat di daerah-daerah tertentu,
seperti berbusana adat, upacara adat, perkawinan semenda dan sebagainya.
Sedang etika moral adalah yang berkenaan dengan kebiasaan berperilaku
baik dan benar berdasarkan kodrat manusia, hal ini terwujud dalam bentuk
kehendak manusia berdasarkan kesadaran berupa suara hati nurani,
seperti berbuat jujur, menghormati guru, menyantuni anak yatim, membela
kebenaran dan keadilan serta banyak lagi yang lain. (Abdulkadir
Muhammad,2001:15)
Hamzah Yakub
(1983:13) merumuskan bahwa, etika adalah ilmu yang menyelidiki mana
yang baik dan mana yang buruk serta memperlihatkan amal perbuatan
manusia sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran.
Sudikno
Mertokusumo (1991:36) merumuskan pula pengertian etika yaitu usaha
manusia untuk mencari norma baik dan buruk. Etika diartian juga sebagai “the principles of morality” atau “the field of study or morals or right conduct”.
Secara lebih sederhana dapatlah dikatakan bahwa etika adalah filsafat
tingkah laku atau filsafat mencari pedoman untuk mengetahui bagaimana
manusia bertindak yang baik atau etis.
Pendapat E.Wayne Mondy dan Robert M.Noe tentang etika yang dikutif oleh Moekijat (1995:6) menyatakan bahwa “ethics is the discipline with is good and bad or right and wrong or with moral duty and obligation”.
Etika adalah suatu disiplin (keadaan pengendalian diri sendiri dan
tingkah laku) yang berkaitan dengan apa yang baik dan buruk atau dengan
apa yang benar dan apa yang salah atau dengan hak dan kewajiban moral.
Pandangan
Sudarsono (1993:188) tentang etika yaitu ilmu yang membahas tentang
perbuatan manusia baik atau buruk sejauh yang dapat dipahami oleh
pikiran manusia. Etika disebut juga akhlak atau disebut pula moral.
Imam Al-Gazali (tt:56) mendefenisikan etika (akhlak) “Kebiasaan jiwa yang terpatri dalam diri manusia yang dengannya dapat
menimbulkan berbagai tingkah laku (perbuatan), tanpa memerlukan
pemikiran dan pertimbangan”.
Mencermati
dari sekian rumusan tentang etika (moral), maka dapat dikatakan bahwa
etika itu suatu studi dan panduan tentang perilaku yang harus dikerjakan
atau sebaliknya tidak dilakukan oleh manusia. Apa yang disebut sebagai
perbuatan baik atau buruk dijadikannya sebagai muatan secara umum dari
etika.
Etika
merupakan pandangan hidup dan pedoman tentang bagaimana orang itu
seyogyanya berperilaku. Etika yang berasal dari kesadaran manusia
merupakan petunjuk tentang perbuatan mana yang baik dan mana yang buruk.
Etika juga merupakan penilaian atau kualifikasi terhadap perbuatan
seseorang dan atau merupakan nilai moralitas yang sesuai dengan standar
moral dan nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan
masyarakat.
Dengan
demikian itu, etika adalah studi tentang kebenaran dan ketidak benaran
yang didasarkan atas kodrat manusia, yang bermanifestasi di dalam
kehendak manusia. Nilai-nilai moral yang dikembangkan dengan maksud
untuk memungkinkan adanya kehendak bebas. Nilai-nilai tersebut juga
terwujud secara nyata di dalam setiap kontak antar individu dalam
pelaksanaan kewajiban dan kesadaran masing-masing individu sehingga
norma-norma moral yang berlaku selalu mendapatkan perhatian dan
pembahasan dalam segala situasi yang melingkari hidup manusia.
Jadi
ajaran etika paralel dengan ajaran moral, yang mengajarkan orang supaya
setiap berkomunikasi bersikap jujur, sopan dan berakhlak, saling
hormat-menghormati dan saling toleransi dalam arti yang positif.
C. Hubungan Antara Hukum Dan Etika
Interaksi
antar individu dalam suatu masyarakat seringkali menimbulkan gesekan
yang saling berbenturan. Oleh karena itu, diperlukan suatu tatanan dalam
masyarakat yang mampu menciptakan keteraturan, ketertiban dan
ketetntraman. Tatanan yang dimaksudkan adalah sebuah perangkat yang
berisi petunjuk-petunjuk tingkah laku berupa kaedah hukum. Selain kaedah
hukum terdapat pula beberapa kaedah dalam masyarakat yang diperlukan
sebagai upaya untuk mewujudkan kedamaian dan kesejahteraan.
Purnadi
Purbacaraka (1993:7-8) menjelaskan bahwa kaedah-kaedah itu sebagai
patokan atau pedoman untuk hidup, namun hidup mempunyai dua aspek secara
umum, yaitu aspek hidup pribadi dan aspek hidup antar pribadi. Setiap
aspek hidup tersebut mempunyai kaedah-kaedahnya masing-masing yaitu:
1. Pada aspek hidup pribadi mencakup :
a. Kaedah-kaedah kepercayaan / keagamaan untuk mencapai kesucian hidup pribadi atau kehidupan ber-Iman.
b. Kaedah-kaedah
kesusilaan (moral/etika dalam arti sempit) yang tertuju pada kebaikan
hidup pribadi atau kebersihan hati nurani dan akhlak.
2. Pada aspek hidup antar pribadi meliputi :
a. Kaedah-kaedah sopan santun yang maksudnya untuk kesedapan hidup
bersama.
b. Kaedah-kaedah hukum yang tertuju kepada kedamaian hidup bersama.
Menurut
Satjipto Rahardjo (1991:33) bahwa kaedah hukum memuat suatu penilaian
mengenai perbuatan tertentu. Hal itu jelas tampak dalam bentuk suruhan
dan larangan. Kaedah hukum ini diwujudkan dalam bentuk petunjuk
bertingkah laku. Oleh karena itu kaedah hukum disebut juga petunjuk
tingkah laku. Lebih lanjut dijelaskan bahwa hukum sebagai kebiasaan yang
menjalani pelembagaan kembali untuk memenuhi tujuan yang lebih terarah
dalam kerangka apa yang disebut hukum. Melalui pelembagaan itu digarap
secara khusus sehingga memperoleh bentuk yang dapat dikelola secara
hukum.
Dalam
suatu peristiwa yang belum ada kaedah hukumnya, maka pengadilan
(lembaga yudikatif) tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili
suatu perkara dengan alasan tidak ada hukumnya, (vide pasal 14 ayat (1)
UU No.14 Tahun 1970) dan hal ini mungkin saja terjadi karena kaedah
sosial yang non hukum ada dalam masyarakat. Oleh karena
itu, untuk menetapkan hukumnya terhadap peristiwa yang belum ada kaedah
hukumnya, maka pengadilan dalam hal ini hakim harus merujuk
kaedah-kaedah atau nilai-nilai hukum yang hidup dan berkembang di dalam
masyarakat. Olehnya itu hakim sebagai penegak hukum dan keadilan
sekaligus sebagai pembentuk hukum, maka wajib baginya menggali dan
memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat (vide pasal 27
ayat (1) UU No.14 Tahun 1970).
Dengan
demikian itu, dalam mewujudkan kedamaian dalam suatu masyarakat, muatan
hukum berupa sebuah perangkat peraturan-peraturan dan petunjuk-petunjuk
tingkah laku yang berisikan kaedah-kaedah kepercayaan/keagamaan,
kaedah-kaedah kesusilaan, kaedah-kaedah kesopanan dan kaedah-kaedah
hukum yang merupakan suatu keniscayaan.
Sehubungan
dengan hal tersebut, antara hukum dan etika adalah menyangkut perbuatan
manusia dan tujuan keduanya hampir sama, yaitu mengatur perbuatan
manusia untuk kebahagiaan mereka. Namun lingkungan etika lebih luas,
etika memerintahkan berbuat apa yang berguna dan melarang berbuat segala
apa yang mudharat. Sedang hukum tidak demikian, karena banyak perbuatan
yang terang berguna tidak diperintahkan oleh hukum, seperti berbuat
baik kepada fakir miskin, dan perlakuan baik kepada orang tua, demikian
juga beberapa perbuatan yang mendatangkan kemudharatan tidak dicegah
oleh hukum, umpamanya dusta dan dengki. Hukum tidak mencampuri hal ini,
karena hukum tidak memerintahkan dan tidak melarang, kecuali apabila
dapat menjatuhkani hukuman kepada orang yang menyalahi perintah dan
larangan.
Terkadang
untuk melaksanakan suatu undang-undang itu hajat mempergunakan
cara-cara yang lebih membahayakan kepada ummat, dari apa yang
diperintahkan atau dicegah oleh undang-undang.
Demikian
pula ada beberapa keburukan yang samar-samar, seperti mengingkari
nikmat dan berkhianat, dan ini undang-undang tidak sampai untuk
menjatuhkan siksaan kepada pelakunya. Olehnya itu, tidak dapat jatuh di
bawah kekerasan undang-undang dan keadaannya dalam hal itu bukan seperti
pencurian dan pembunuhan.
Perbedaan
lainnya adalah bahwa hukum melihat segala perbuatan dari jurusan hasil
atau akibatnya yang lahir, sedang etika menyelami gerak jiwa manusia
yang bathin dan meskipun tidak menimbulkan perbuatan lahir. etika juga
menyelidiki perbuatan yang lahir. (Ahmad Amin,1995:10)
Lebih
jelas dapat dikatakan bahwa hukum itu dapat berkata “jangan mencuri dan
jangan membunuh”, tetapi tidak dapat berkata sesuatu tentang
kelanjutannya. Sedang etika bersamaan dengan hukum di dalam mencegah
pencurian dan pembunuhan, sehingga dapat menambahkan dengan kata “jangan
berpikir dalam keburukan atau jangan menghayalkan yang tidak berguna”.
Hukum dapat menjaga hak milik manusia, dan mencegah orang yang akan
melanggarnya, tetapi tidak dapat memerintahkan kepada si pemilik agar
mempergunakan miliknya untuk kebaikan. Adapun yang dapat memerintahkan
adalah etika.
Dengan
demikian itu, etika sebagai pedoman untuk mengetahui bagaimana
seharusnya manusia bertindak yang baik atau etis dan menghindari
perbuatan buruk. Secara sederhana dapat dikatakan, bahwa etika mencoba
marangsang timbulnya perasaan moral, mencoba menemukan nilai-nilai hidup
yang baik dan benar, serta mengilhami manusia supaya berusaha mencari
nilai-nilai tersebut.
Sedang
hukum merupakan seperangkat kaedah atau norma yang tersusun dalam suatu
sistem yang berisikan petunjuk bertingkah laku, tentang apa yang boleh
dan apa yang tidak boleh dilakukan dan disertai dengan sanksi, yang
bersumber dari masyarakat sendiri maupun dari sumber lain yang diakui
keberlakuannya oleh otoritas tertinggi dalam masyarakat tersebut, dan
benar-benar diberlakukan oleh warga masyarakat. Jika kaedah tersebut
dilanggar akan memberikan kewenangan pada otoritas tertinggi untuk
menjatuhkan sanksi. Agar dengan sanksi itu, masyarakat diharapkan supaya
selalu berada dalam koridor yang baik serta menghindarkan diri dari
perbuatan melanggar hukum, guna menciptakan kedamaian dalam masyarakat.
Kedamaian
di sini adalah suatu keadaan yang mencakup dua hal, yaitu ketertiban
atau keamanan dan ketentraman atau ketenangan. Ketertiban atau keamanan
menunjukkan pada hubungan atau komunikasi lahiriyah, jadi melihat pada
proses interaksi para pribadi dalam kelompok masyarakat. Sedang
Ketentraman atau ketenangan menunjuk pada keadaan bathiniyah, jadi
melihat pada kehidupan bathiniyah (internal life) masing-masing pribadi dalam kelompok masyarakat. (Purnadi Purbacaraka dkk,1993:20)
Dengan
demikian itu, dapat dipahami bahwa hubungan hukum dan etika sangat
erat. Ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan.(Sudikno
Mertokusumo,1991:36). Pengertian-pengertian dasar hukum adalah
pengertian yang saling berhubungan antara nilai, etika, kaedah dan pola
perilaku. Hukum ditujukan kepada manusia sebagai makhluk sosial.
Sebaliknya etika ditujukan kepada manusia sebagai individu, yang berarti
bahwa hati nuranilah yang memiliki peranan karena disitulah perasaan
yang berfungsi.
Sasaran
etika semata-mata adalah perbuatan manusia yang dilakukan dengan
sengaja. Baik atau buruk, tercela dan tidak tercela, suatu perbuatan itu
dihubungkan dengan ada tidaknya kesengajaan, kalau ada unsur
kesengajaan dalam pelanggaran maka tercela. Maka seseorang itu harus
bertanggung jawab atas perbuatannya yang disengaja. Perbuatan yang
disengaja itu harus sesuai dengan kesadaran etisnya.
Apa
yang menurut masyarakat demi kedamaian dalam arti ketertiban dan
ketentraman, serta kesempurnaan yang baik, itulah baik. Hukum adanya
hanya dalam masyarakat manusia, sedangkan masyarakat manusia itu
beraneka ragam, maka dapatlah dikatakan bahwa ukuran baik dan buruk
dalam hal ini tidak mungkin bersifat universal, karena hukum itu terikat
pada daerah atau wilayah tertentu.
Kesadaran
etis bukan hanya berarti sadar akan adanya kebaikan dan keburukan,
tetapi lebih dari itu, harus ada kesadaran untuk mewujudkannya dalam
perilaku. Karena pelanggaran etika bukan merupakan pelanggaran kaedah
hukum melainkan dirasakan sebagai pertentangan hati nurani. Sementara
kaedah hukum berisikan pedoman tingkah laku yang mengarahkan tindakan
manusia pada perilaku yang baik, dan menghindarkan perbuatan buruk,
serta mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa dengan ancaman sanksi.
Akan tetapi jangkauan hukum kadang terbatas, sehingga hati nuranilah
yang memiliki peran yang sangat penting dan luas terhadap etika bagi
setiap orang.
BAB III
P E N U T U P
A. Kesimpulan
Dari uraian-uraian di atas dapatlah diambil kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut :
Hukum merupakan
seperangkat kaedah yang berisikan petunjuk tentang apa yang boleh dan
apa yang tidak boleh dilakukan oleh manusia sebagai warga masyarakat
dalam kehidupan bermasyarakat, yang bersumber baik dari masyarakat
sendiri maupun dari sumber lain, yang keberlakuannya diakui oleh
otoritas tertinggi dalam masyarakat tersebut, dan jika dilanggar akan
memberikan kewenangan bagi pemegang otoritas itu untuk menjatuhkan
sanksi. Jadi tercakup di dalamnya suruhan dan larangan.
Etika
adalah usaha hati nurani manusia untuk memilih norma baik dan buruk,
yang merupakan keinginan jiwa manusia untuk menimbulkan perbuatan baik
yang diwujudkan dalam bentuk ketaatan, serta kehendak jiwa manusia yang
menimbulkan perbuatan buruk yang direalisasikan dalam bentuk ketidak
taatan. Perbuatan baik dan buruk tersebut dengan mudah dilakukan karena
telah menjadi kebiasaan tanpa memerlukan terlebih dahulu pertimbangan.
Hukum
dan etika memiliki hubungan timbal balik. Ibarat dua sisi mata uang
yang antara keduanya tidak dapat dipisahkan. Hukum sebagai sarana
kontrol sosial di samping sebagai perekayasa sosial, berusaha untuk
menjaga agar masyarakat tetap berada pada bingkai dan koridor hukum.
Dengan kata lain, hukum berusaha mengarahkan masyarakat untuk selalu
berperilaku baik. Sementara kesadaran etika bukan hanya sadar akan
adanya baik dan buruk, tetapi juga sadar untuk mewujudkannya dalam
perilaku yang baik, pada akhirnya akan memberikan kontribusi terhadap
penegakan hukum. Pelanggaran etika bukanlah merupakan pelanggaran kaedah
hukum melainkan pelanggaran tersebut dirasakan bertentangan dengan hati
nurani. Ketika kesadaran hati nurani terwujud dalam perilaku, dengan
sendirinya kedamaian akan dirasakan
B. S a r a n
Untuk melengkapi uraian ini, maka penulis menyarankan :
Kepada
para pihak yang berwenang (legislatif dan eksekutif) agar di dalam
membuat dan mengesahkan suatu undang-undang/peraturan-peraturan yang
merupakan hukum, hendaklah menyesuaikan kebutuhan masyarakat, atau
memperhatikan kondisi dan aspirasi masyarakat, sebab jangan sampai
undang-undang/peraturan-peraturan itu henya menjadi kata-kata mutiara
yang indah lalu tidak dijalankan oleh masyarakat.
Kepada
para pihak penegak hukum dalam hal ini pihak yudikatif agar betul dapat
menjadi penegak hukum yang berakhlak mulia, sehingga dapat menjunjung
tinggi kejujuran dan keadilan, yang dengan sendirinya dapat mematuhi
kode etik masing-masing penegak hukum.
Terhadap
semua pihak selaku warga masyarakat Indonesia yang beragama, supaya
menjalankan agamanya dengan baik dan benar, sehingga nantinya dapat
menaati hukum, baik hukum yang dibuat oleh yang berwenang maupun hukum
agama yang dianut.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quranul Karim.
Abdulkadir Muhammad, 2001, Etika Profesi Hukum, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung.
Abdul Wahid, 1997, Etika Profesi Hukum Dan Nuansa Tantangan Profesi Hukum Di Indonesia, Tarsito, Bandung.
Achmad Ali, 2002, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis Dan
Sosiologis), Gunung Agung, Jakarta.
A.Gunawan Satiardja, 1990, Dialektika Hukum Dan Moral Dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia, Kanisius-BPK Gunung Mulia, Yogya-Jakarta.
Ahmad Amin, 1995, Etika (Ilmu Akhlak), Bulan Bintang, Jakarta.
Al-Gazaly, tt., Ihya Ulumuddin, tp., Mesir.
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 1989, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.
. E.Sumaryono,1995, Etika Profesi Hukum, Kanisius, Yogyakarta.
Hamzah Yakub, 1983, Etika Islam, Al-Ikhlas, Surabaya.
Inu Kencana Syafiie, 1994, Etika Pemerintah, Rineka Cipta, Jakarta.
L.B.Curzon, 1979, Jurisprudence, Macdonald and evans Ltd. Estover.
Moekijat, 1995, Asas-Asas Etika, Mandar Maju, Bandung.
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, 1993, Perihal Kaedah Hukum, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung.
Rusli Effendy dkk, 1991, Teori Hukum, Hasanuddin University Press, Ujungpandang.
Satjipto Rahardjo, 1991, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Sudarsono, 1993, Ilmu Filsafat: Suatu Pengantar, Rineka Cipta, Jakarta.
Sudikno Mertokusumo, 1991, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta.
W.J.S.Poerwadarminta, 1999, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.