BAB I
PENDAHULUAN & ISI
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Solidaritas Mekanik dan Solidaritas Organik
Emile Durkheim (1859-1917), Profesor Sosiologi Pertama dari Universitas Paris, mengambil pendekatan kolektivitis terhadap pemahaman mengenai masyarakat yang melibatkan berbagai bentuk solidaritas.
Solidaritas dalam berbagai lapisan masyarakat bekerja seperti "perekat sosial", dalam hal ini dapat berupa, nilai, adat istiadat dan kepercayaan yang dianut bersama oleh anggota masyarakat dalam ikatan kolektif.
Ada bentuk yang disebut solidaritas mekanis, dimana individu yang diikat dalam suatu bentuk solidaritas memiliki "kesadaran kolektif" yang sama dan kuat. Karena itu individualitas tidak berkembang karena dilumpuhkan dengan tekanan besar untuk menerima konformitas. Contoh masyarakat yang memiliki solidaritas ini adalah masyarakat pra-industri dan masyarakat pedesaan.
Sementara itu ketika masyarakat semakin kompleks melalui pembagian kerja, solidaritas mekanik runtuh digantikan dengan solidaritas organik. Ketika terjadi pembagian kerja maka akan timbul spesialisasi yang pada akhirnya menimbulkan ketergantungan antar individu. Hal ini juga menggairahkan individu untuk meningkatkan kemampuannya secara individual sehingga "kesadaran koletif" semakin redup kekuatannya. Dan solidaritas ini ada pada masyarakat Industri.
Maka itu Durkheim mengusulkan perlunya suatu konsensus intelektual dan moral untuk keteraturan sosial yang bersifat harmonis dan integratif.
Istilah fakta sosial pertama kali diperkenalkan oleh Emile Durkheim. Ia mengartikannya sebagai suatu cara bertindak yang tetap atau sementara yang memiliki kendala dari luar (constraint); atau suatu cara bertindak yang umum dalam suatu masyarakat yang berwujud dengan sendirinya bebas dari manifestasi individual.
Berdasarkan definisi ini, fakta sosial memiliki empat karakteristik penting diantaranya:
1. Sesuatu yang berwujud di luar individu;
2. Melakukan hambatan atau membuat kendala terhadap individu;
3. Bersifat luas atau umum; dan
4. Bebas dari manifestasi, atau melampaui manifestasi individu.
Salah seorang sosiolog yang menaruh perhatian dan menjadikan fokus teoritis dalam membaca masyarakat adalah Emile Durkheim. Bahkan, persoalan solidaritas sosial merupakan inti dari seluruh teori yang dibangun Durkheim. Ada sejumlah istilah yang erat kaitannya dengan konsep solidaritas sosial yang dibangun Sosiolog berkebangsaan Perancis ini, diantarnya integrasi sosial (social integration) dan kekompakan sosial. Secara sederhana, fenomena solidaritas menunjuk pada suatu situasi keadaan hubungan antar individu atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat oleh pengalaman emosional bersama.
Dalam analisis Durkheim, diskusi tentang solidaritas dikaitkan dengan persoalan sanksi yang diberikan kepada warga yang melanggar peraturan dalam masyarakat. Bagi Durkhem indikator yang paling jelas untuk solidaritas mekanik adalah ruang lingkup dan kerasnya hukum-hukum dalam masyarakat yang bersifat menekan (represif). Hukum-hukum ini mendefinisikan setiap perilaku penyimpangan sebagai sesuatu yang jahat, yang mengancam kesadaran kolektif masyarakat. Hukuman represif tersebut sekaligus bentuk pelanggaran moral oleh individu maupun kelompok terhadap keteraturan sosial (social order). Sanksi dalam masyarakat dengan solidaritas mekanik tidak dimaksudkan sebagi suatu proses yang rasional. Hukuman tidak harus mempresentasikan pertimbangan rasional dalam masyarakat. Hukum represif dalam masyarakat mekanik tidak merupakan petimbangan yang diberikan yang sesuai dengan bentuk kejahatannya. Sanksi atau hukuman yang dikenakan kepada orang yang menyimpang dari keteraturan, tidak lain merupakan bentuk atau wujud kemarahan kolektif masyarakat terhadap tindakan individu tersebut.
Pelanggaran terhadap kesadaran kolektif merupakan bentuk penyimpangan dari homogenitas dalam masyarakat. Karena dalam analisa Durkheim, ciri khas yang paling penting dari solidaritas mekanik itu terletak pada tingkat homogenitas yang tinggi dalam kepercayaan, sentimen, dan sebagainya. Homogenitas serupa itu hanya mungkin kalau pembagian kerja (division of labor) bersifat terbatas.
Model solidaritas seperti ini biasa ditemukan dalam masyarakat primitif atau masyarakat tradisional yang masih sederhana. Dalam masyarakat seperti ini pembagian kerja hampir tidak terjadi. Seluruh kehidupan dipusatkan pada sosok kepala suku. Pengelolaan kepentingan kehidupan sosial bersifat personal. Keterikatan sosial terjadi karena kepatuhan terhadap nilai-nilai tradisional yang dianut oleh masyarakat. Demikian juga sistem kepemimpinan yang dilaksanakan berjalan secara turun-temurun.
Potret solidaritas sosial dalam konteks masyarakat dapat muncul dalam berbagai kategori atas dasar karakteristik sifat atau unsur yang membentuk solidaritas itu sendiri. Veeger, K.J. (1992) mengutip pendapat Durkheim yang membedakan solidaritas sosial dalam dua kategori/tipe; pertama, solidaritas mekanis, terjadi dalam masyarakat yang diciri-khaskan oleh keseragaman pola-pola relasi sosial, yang dilatarbelakangi kesamaan pekerjaan dan kedudukan semua anggota. Jika nilai-nilai budaya yang melandasi relasi mereka, menyatukan mereka secara menyeluruh, maka akan memunculkan ikatan sosial diantara mereka kuat sekali yang ditandai dengan munculnya identitas sosial yang demikian kuat. Individu meleburkan diri dalam kebersamaan, hingga tidak ada bidang kehidupan yang tidak diseragamkan oleh relasi-relasi sosial yang sama. Individu melibatkan diri secara penuh dalam kebersamaan pada masyarakat hingga tidak terbayang bahwa hidup mereka masih berarti atau dapat berlangsung, apabila salah satu aspek kehidupan diceraikan dari kebersamaan.
Singkatnya, solidaritas mekanik didasarkan pada suatu “kesadaran kolektif” (collective consciousness) yang dipraktikkan masyarakat dalam bentuk kepercayaan dan sentimen total diantara para warga masyarakat. Individu dalam masyarakat seperti ini cenderung homogen dalam banyak hal. Keseragaman tersebut berlangsung terjadi dalam seluruh aspek kehidupan, baik social, politik bahkan kepercayaan atau agama.
Doyle Paul Johnson (1994), secara terperinci menegaskan indikator sifat kelompok sosial/masyarakat yang didasarkan pada solidaritas mekanik, yakni;
1. Pembagian kerja rendah;
2. Kesadaran kolektif kuat;
3. Hukum represif dominan;
4. Individualitas rendah;
5. Konsensus terhadap pola normatif penting;
6. Adanya keterlibatan komunitas dalam menghukum orang yang menyimpang;
7. Secara relatif sifat ketergantungan rendah;
8. Bersifat primitif atau pedesaan.
Sementara itu solidaritas organik terjadi dalam masyarakat yang relatif kompleks kehidupan sosialnya namun terdapat kepentingan bersama atas dasar tertentu. Dalam kelompok sosial terdapat pola antar-relasi yang parsial dan fungsional, terdapat pembagian kerja yang spesifik, yang pada gilirannya memunculkan perbedaan kepentingan, status, pemikiran dan sebagainya. Perbedaan pola relasi-relasi, dapat membentuk ikatan sosial dan persatuan melalui pemikiran perlunya kebutuhan kebersamaan yang diikat dengan kaidah moral, norma, undang-undang, atau seperangkat nilai yang bersifat universal.
Oleh karena itu ikatan solider tidak lagi menyeluruh, melainkan terbatas pada kepentingan bersama yang bersifat parsial.
Solidaritas organik muncul karena pembagian kerja bertambah besar. Solidaritas ini didasarkan pada tingkat saling ketergantungan yang tinggi. Ketergantungan ini diakibatakan karena spesialisasi yang tinggi diantara keahlian individu. Spesialisasi ini juga sekaligus merombak kesadaran kolektif yang ada dalam masyarakat mekanis. Akibatnya kesadaran dan homogenitas dalam kehiduan sosial tergeser.
Karena keahlian yang berbeda dan spesialisasi itu, munculah ketergantungan fungsional yang bertambah antara individu-idividu yang memiliki spesialisasi dan secara relatif lebih otonom sifatnya. Menurut Durkheim itulah pembagian kerja yang mengambil alih peran yang semula disandang oleh kesadaran kolektif.
Sekali lagi Durkheim mengaitkan persoalan solidaritas organik dengan fenomena pemberian hukuman atau sanksi. Kuatnya solidaritas organik ditandai oleh munculnya hukum yang bersifat memulihkan (restitutive) bukan yang bersifat represif. Kedua model hukum pada praktiknya juga memiliki tujuan yang berbeda. Jika hukum represif yang dijumpai dalam masyarakat mekanik merupakan ungkapan dari kemarahan kolektif masyarakat. Sementara hukum restitutif berfungsi mempertahankan atau melindungi pola saling ketergantungan yang kompleks antara sejumlah individu yang memilki spesialisasi tersebut. Karena itu sifat sanksi yang diberikan kepada individu yang melanggar keteraturan dalam dua tipologi masyarakat ini juga berbeda. Tipe sanksi dalam masyarakat mekanik berwatak restitutif sebagaimana dikemukan Durkheim: “bukan bersifat balas dendam, melainkan sekedar memulihkan keadaan”.
Kemarahan kolektif menjadi tidak mungkin terjadi dalam masyarakat dengan tipe organik, karena masyarakat sudah hidup dengan kesadaran individual, bukan kesadaran kolektif. Sebagai gantinya masyarakat dengan tipe solidaritas organik mengelola kehidupan secara rasional. Karena itu, bentuk hukumannya pun bersifat rasional disesuaikan dengan bentuk pelanggaran tersebut. Pelaksanaan sanksi tersebut bertujuan untuk memulihkan atau melindungi hak-hak dari pihak yang dirugikan.
Dengan demikian akan terpulihkan kondisi ketergantungan fungsional dalam masyarakat. Durkheim memberi tamsil bentuk solidaritas tersebut terutama dalam masyarakat moderen. Pola-pola restitutif ini nampak dalam hukum dan peraturan-peraturan kepemilikan, hukum kontrak, perdagangan dan peraturan administratif atau prosedur-prosedur dalam sebuah institusi masyarakat moderen.
Peralihan dari hukum represif menuju hukum restitutif seiring sejalan dengan semakin bertambahnya kompleksitas dalam masyarakat. Kompleksitas tersebut berdampak pada pembagian kerja (divison of labor) yang kian beragam pula.
Perbedaan–perbedaan tersebut juga berlangsung dalam banyak wilayah kehidupan sosial masyarakat. Maksudnya, perubahan tersebut juga berlangsung pada bagaimana kepemimpinan dalam setiap model masyarakat tersebut dipraktikkan. Misalnya dalam masyarakat mekanik, proses perubahan kepemimpinan dilakukan secara turun temurun dari kepala suku atau Ketua adat. Berbeda dengan masyarakat organik proses suksesi kepemimpinan dilakukan dengan melibatkan partisipasi masyarakat atau individu.
Karl Manheim lebih mencermati pandangan Durkheim, dimana dalam solidaritas organik diciptakan pembagian kerja dalam kelompok sosial. Pembagian kerja sebenarnya membagi aktivitas yang tadinya digabungkan ke dalam suatu proses kerja yang dilaksanakan oleh seorang manusia menjadi sejumlah besar bagian-bagian yang saling melengkapi satu sama lain. Pembagian kerja akan menimbulkan sebuah integrasi sosial yang kuat, secara fungsional dibutuhkan untuk saling melengkapi. Oleh karena itu memunculkan sebuah solidaritas sosial dalam kelompok mereka atas dasar kepentingan bersama yang sifatnya tertentu. Nampak bahwa pada solidaritas organik menekankan tingkat saling ketergantungan yang tinggi, akibat dari spesialisasi pembagian pekerjaan dan perbedaan di kalangan individu. Perbedaan individu akan merombak kesadaran kolektif, yang tidak penting lagi sebagai dasar untuk keteraturan sosial. Kuatnya solidaritas organik menurut Durkheim ditandai eksistensi hukum yang bersifat restitutif/memulihkan, melindungi pola ketergantungan yang kompleks antara pelbagai individu yang terspesialisasi atau kelompok-kelompok dalam masyarakat.
Doyle Paul Johnson secara terperinci menegaskan indikator sifat kelompok sosial/masyarakat yang didasarkan pada solidaritas organik, yakni;
1. Pembagian kerja tinggi;
2. Kesadaran kolektif lemah;
3. Hukum restitutif/memulihkan dominan;
4. Individualitas tinggi;
5. Konsensus pada nilai abstrak dan umum penting;
6. Badan-badan kontrol sosial menghukum orang yang menyimpang;
7. Saling ketergantungan tinggi; dan
8. Bersifat industrial perkotaan.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa masyarakat bukanlah semata-mata merupakan penjumlahan individu-individu belaka. Sistem yang dibentuk oleh asosiasinya merupakan suatu realitas khusus dengan karakteristik tertentu. Adalah benar bahwa sesuatu yang bersifat kolektif tidak akan mungkin timbul tanpa kesadaran individual, namun syarat tersebut tidak akan mungkin timbul tanpa adanya kesadaran individual, namun syarat itu tidaklah cukup. Kesadaran itu harus dikombinasikan dengan cara tertentu, kehidupan sosial merupakan hasil kombinasi itu dan dengan sendirinya dijelaskan olehnya. Jiwa-jiwa individual yang membentuk kelompok, melahirkan sesuatu yang bersifat psikologis, namun berisikan jiwa individualistis yang baru.
C. Apa perbedaan kelompok sosial solidaritas mekanik dan solidaritas organik?
a) Solidaritas Mekanik adalah solidaritas yang muncul pada masyarakat yang masih sederhana dan diikat oleh kesadaran kolektif serta belum mengenal adanya pembagian kerja diantara para anggota kelompok. (Masyarakat Pedesaan).
b) Solidaritas Organik adalah solidaritas yang mengikat masyarakat yang sudah kompleks dan telah mengenal pembagian kerja yang teratur sehingga disatukan oleh saling ketergantungan antar anggota. (Masyarakat Perkotaan).
D. Ciri-ciri Solidaritas Mekanik dan Solidaritas Organik.
Solidaritas Mekanik:
Merujuk kepada ikatan sosial yang dibangun atas kesamaan, kepercayaan dan adat bersama. Disebut mekanik, karena orang yang hidup dalam unit keluarga suku atau kota relatif dapat berdiri sendiri dan juga memenuhi semua kebutuhan hidup tanpa tergantung pada kelompok lain.
Solidaritas Organik:
Menguraikan tatanan sosial berdasarkan perbedaan individual diantara rakyat.
Merupakan ciri dari masyarakat modern, khususnya kota. Bersandar pada pembagian kerja (division of labor) yang rumit dan didalamnya orang terspesialisasi dalam pekerjaan yang berbeda-beda. Seperti dalam organ tubuh, orang lebih banyak saling bergantung untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Merupakan ciri dari masyarakat modern, khususnya kota. Bersandar pada pembagian kerja (division of labor) yang rumit dan didalamnya orang terspesialisasi dalam pekerjaan yang berbeda-beda. Seperti dalam organ tubuh, orang lebih banyak saling bergantung untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Dalam Division of labor yang rumit ini, Durkheim melihat adanya kebebasan yang lebih besar untuk semua masyarakat: kemampuan untuk melakukan lebih banyak pilihan dalam kehidupan mereka Meskipun Durkheim mengakui bahwa kota-kota dapat menciptakan impersonality (sifat tidak mengenal orang lain), alienasi, disagreement dan konflik, ia mengatakan bahwa solidaritas organik lebih baik dari pada solidaritas mekanik
Beban yang kami berikan dalam masyarakat modern lebih ringan daripada masyarakat pedesaan dan memberikan lebih banyak ruang kepada kita untuk bergerak bebas.
Beban yang kami berikan dalam masyarakat modern lebih ringan daripada masyarakat pedesaan dan memberikan lebih banyak ruang kepada kita untuk bergerak bebas.
E. Perbedaan Solidaritas Mekanik dan Solidaritas Organik
Solidaritas Mekanik | Solidaritas Organik |
a.) Relatif berdiri sendiri (tidak bergantung pada orang lain) dalam keefisienan kerja. b.) Terjadi di Masyarakat Sederhana. c.) Ciri dari Masyarakat Tradisional (Pedesaan) d.) Kerja tidak terorganisir e.) Beban lebih berat f.) Tidak bergantung dengan orang lain | a.) Saling Keterkaitan dan mempengaruhi dalam keefisienan kerja. b.) Dilangsungkan oleh Masyarakat yang kompleks. c.) Ciri dari Masyarakat Modern (Perkotaan). d.) Kerja terorganisir dengan baik. e.) Beban ringan. f.) Banyak saling bergantungan dengan yang lain. |
Koeksistensi yang selalu ada antara industri dan komunitas, menurut Schneider (1993:430-431), timbul karena berbagai sebab.
Pertama adalah kebutuhan industri akan persediaan tenaga kerja. Industri membutuhkan tenaga kerja yang dapat diandalkan yang dapat masuk kerja setiap hari dan tepat waktu, yang segera dapat dipanggil kembali bekerja setelah suatu periode pemberhentian dan tidak mempunyai mata pencaharian lain selain industri tersebut. Untuk menciptakan dan mendapatkan persediaan tenaga kerja seperti itu, industri harus memasuki komunitas yang ada atau menciptakan komunitas kemana tenaga kerja dapat ditarik.
Kedua, komunitas menjadi pasar yang besar bagi produk industri tersebut. Dengan menempatkannya dekat sebuah pasar kota, industri dapat mengurangi biaya biaya transportasi, khususnya bila sebagaian besar pasar suatu industri bertempat di pusat metropolitan yang besar.
Ketiga, industri membutuhkan komunitas sebagai sumber jasa khusus. Salah satunya adalah transportasi untuk membawa bahan mentah ataupun mengirimkan hasil produksinya. Selain itu juga membutuhkan perlindungan keamanan, pendidikan para pekerjanya, persediaan air, penyediaan pemukiman dan sebagainya
Seperti halnya Schneider, Parker (1990:93) menyatakan bahwa “munculnya industri baru dalam suatu wilayah akan memberikan pengaruh besar terhadap jumlah tenaga kerja.” Kebutuhan industri terhadap tenaga kerja yang memadai, tidak sepenuhnya dapat terpenuhi oleh komunitas yang sudah ada, karena industri membutuhkan tenaga kerja yang memiliki karakteristik tertentu, seperti keterampilan dan pendidikannya,termasuk juga perilaku kerja tertentu. Kebutuhan tenaga kerja industri menjadi salah satu dari daya tarik industri, selain dari munculnya kesempatan ekonomi lain akibat keberadaan industri yang bisa dijadikan sumber penghasilan bagi masyarakat. Para tenaga kerja berdatangan ke wilayah tersebut untuk mencoba memanfaatkan berbagai kesempatan yang ada, baik di sektor industri maupun di sektor lainnya.
Kehadiran para pekerja pendatang, secara relatif menyebabkan perubahan pola interaksi komunitas. Interaksi antar anggota komunitas menjadi semakin luas, dan proses interaksi dalam komunitas akan terpengaruh oleh adanya keragaman latar belakang sosial budaya dari anggotanya. Pada proses interaksi, jaringan interaksi anggota komunitas yang meluas menyebabkan intensitas interaksi antar-anggota berkurang, terutama pada sebagian anggota komunitas, seperti pendatang yang memiliki sosiabilitas yang rendah. Dalam interaksinya, penduduk pendatang dan pribumi dituntut pula untuk mempertimbangkan latar belakang sosial budaya masing-masing. Hal ini menyebabkan intensitas dan pola interaksi komunitas mengalami perubahan orientasi, termasuk juga dialami oleh penduduk pribumi yang terseret oleh dinamika industri. Dinamika pada komunitas di sekitar industri, dalam jangka panjang akan mengembangkan komunitas tersebut menjadi berbeda dengan bentuk komunitas sebelumnya.
Sebuah komunitas yang mendapatkan pengaruh dari adanya industri akan berkembang ke arah suatu komunitas perkotaan, yang memiliki karateristik yang berbeda dibandingkan dengan sebelum industri didirikan.
Menurut Louis Wirth (dalam Daldjuni, 1982:27): “kota ditentukan oleh ukurannya yang cukup besar, kepadatan penduduknya, dan heterogenitas masyarakatnya.”
Gaya hidup khas kekotaan disebut dengan urbanisme, dan ini ditentukan oleh ciri-ciri spatial, sekularisasi, asosiasi sukarela, peranan sosial yang terpisah dan norma-norma yang kabur.
Mengenai pemikiran Wirth ini, Daldjuni (1982:28) berpendapat bahwa:
Pokok-pokok yang dibicarakan oleh Wirth meliputi “kedangkalan interaksi individu, anomi, serta perspektif penelaahan urbanisasi.Sebagai struktur sosial, urbanisasi menggantikan hubungan primer dengan sekunder. Akibatnya di kota ikatan kekerabatan lemah, gotong royong menipis, dan solidaritas goyah.Urbanisme melahirkan mentalitas kota dimana sikap, ide, dan keperibadian manusianya lain dengan yang terdapat di pedesaan” Urbanisme pada komunitas di sekitar industri sebagai sebuah gejala yang rasional, karena dorongan dari industrialisme dan juga sebagai hasil dari proses adaptasi masyarakat terhadap tuntutan aktivitas kerja dalam industri. Industrialisme membutuhkan tenaga kerja yang mobile. Sifat tenaga kerja yang demikian tidak dapat diperoleh dalam masyarakat yang memiliki ikatan sosial yang ketat, karena ikatan sosial yang ketat akan mengganggu mobilitas warga masyarakatnya. Ikatan sosial yang longgar demikian akan mempengaruhi bentuk solidaritas sosial masyarakatnya.
Pokok-pokok yang dibicarakan oleh Wirth meliputi “kedangkalan interaksi individu, anomi, serta perspektif penelaahan urbanisasi.Sebagai struktur sosial, urbanisasi menggantikan hubungan primer dengan sekunder. Akibatnya di kota ikatan kekerabatan lemah, gotong royong menipis, dan solidaritas goyah.Urbanisme melahirkan mentalitas kota dimana sikap, ide, dan keperibadian manusianya lain dengan yang terdapat di pedesaan” Urbanisme pada komunitas di sekitar industri sebagai sebuah gejala yang rasional, karena dorongan dari industrialisme dan juga sebagai hasil dari proses adaptasi masyarakat terhadap tuntutan aktivitas kerja dalam industri. Industrialisme membutuhkan tenaga kerja yang mobile. Sifat tenaga kerja yang demikian tidak dapat diperoleh dalam masyarakat yang memiliki ikatan sosial yang ketat, karena ikatan sosial yang ketat akan mengganggu mobilitas warga masyarakatnya. Ikatan sosial yang longgar demikian akan mempengaruhi bentuk solidaritas sosial masyarakatnya.
BAB II
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bentuk solidaritas sosial masyarakat industri-kota adalah solidaritas organik. Namun, karena komunitas industri-kota masih berada dalam proses perkembangan, karakteristik yang terdapat pada komunitas ini masih belum menunjukkan karakteristik dari masyarakat organik penuh. Pada komunitas ini masih ditemui adanya beberapa karakteristik dari masyarakat yang yang mekanik.
Perubahan bentuk solidaritas sosial masyarakat industri-kota merupakan sebuah proses yang alamiah dan dibutuhkan oleh masyarakat. Industrialisme tidak dapat berkembang dalam masyarakat yang bentuk solidaritasnya adalah solidaritas mekanik.
B. Daftar Pustaka