Tuesday

MAKALAH TUJUAN HUKUM

BAB I
PENDAHULUAN


A.Latar Belakang

Salah satu sistem yang dipergunakan dalam menegakkan norma atau kaedah yang merupakan kesepakatan bersama, agar dapat menjadi pedoman hidup adalah adanya suatu lembaga peradilan. Pada awal perkembangannya digunakan hanya sekedar untuk menegakkan kepastian hukum. Hal ini dianggap penting bukan hanya untuk mewujudkan satu kehidupan masyarakat yang teratur, tetapi lebih merupakan suatu syarat mutlak bagi terbentuknya suatu organisasi kehidupan yang dapat menjamin adanya suasana kehidupan yang aman dan tenteram.

Perkembangan kehidupan masyarakat ke arah suatu bentuk kehidupan yang lebih maju, menghendaki bukan hanya sekedar penegakan kepastian hukum belaka, tetapi masyarakat yang telah secara sadar memahami bahwa dalam pola hidup bermasyarakat, penegakan hukum bukan hanya sekedar kepastian hukum yang dapat membawa ketenteraman dan kedamaian, tetapi penegakan hukum itu memerlukan pula upaya penegakan keadilan dan kegunaan (Satjipto Rahardjo, 1996;19) atau kemanfaatan (Sudikno Mertokusumo, 1993; 1), sebab menumbuhkan keadilan hukum di kalangan masyarakat itu akan berarti tidak terjadinya kesewenang-wenangan antara individu yang satu dengan yang lain.

Demikian pula dengan menegakkan kegunaan / kemanfaatan hukum akan membawa kepada suatu suasana aman, tertib dalam kehidupan suatu masyarakat. Kehidupan masyarakat tersebut yang kemudian berkembang menjadi suatu negara, tentunya lebih memerlukan suatu perangkat peraturan formal yang akan menjadi alat pengatur kehidupan warga negara, yang dalam hal ini dalam rangka penegakan norma-norma kehidupan, memerlukan perangkat khusus guna penegakan hukumnya, yang dimulai dengan penyediaan aturan yang akan dipedomani, kemudian ditetapkan penegak hukumnya, dilengkapi dengan sarana atau fasilitas penegakan hukum, yang dengan ketiga unsur ini, diharapkan apa yang menjadi kebutuhan dasar warga negara dalam bidang penegakan hukum akan dapat terwujud.



B. Rumusan Masalah


Bertitik tolak dari latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan masalahnya yaitu; Apakah tujuan hukum itu ?














BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


A. Landasan Teori

Kehendak rakyat Indonesia dalam penegakan hukum ini tertuang dalam pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi; Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu, dengan tidak ada kecualinya.

Sebagai upaya pemenuhan apa yang menjadi kehendak rakyat ini, dikeluarkan berbagai peraturan perundang-undangan yang salah satunya adalah Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, dengan tujuan agar penegakan hukum di Negara ini dapat terpenuhi. Salah satu pasal dalam Undang-Undang No.14 Tahun 1970 yang berkaitan dengan masalah ini, adalah pasal 3 ayat (2) berbunyi; Peradilan negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan yang berdasarkan Pancasila.


B. Kajian Yuridis Normatif

Secara yuridis normatif, apa yang selama ini dijalankan oleh para hakim di negara Republik Indonesia ini dan telah menjadi wacana diskusi baik di kalangan para penegak hukum itu sendiri maupun oleh kalangan masyarakat pendamba keadilan, sebab bukan rahasia lagi, bahwa sanya harapan umumnya masyarakat yang memasukkan perkaranya ke Pengadilan adalah untuk memperoleh keadilan. Tapi kenyataannya bukanlah keadilan yang diperoleh, melainkan sekedar kepastian hukum secara normatif belaka.

Berkaitan dengan hal ini, menarik untuk disimak sinyalemen yang dikemukakan oleh Achmad Ali (1999;200) bahwa di kalangan praktisi hukum, terdapat kecenderungan untuk senantiasa melihat pranata peradilan hanya sekedar sebagai pranata hukum belaka, yang penuh dengan muatan normatif, diikuti lagi dengan sejumlah asas-asas peradilan yang sifatnya sangat ideal dan normatif, yang dalam kenyataannya justeru berbeda sama sekali, dengan penggunaan kajian moral dan kajian ilmu hukum (normatif), pengadilan cenderung dibebani tanggung jawab yang teramat berat dan nyaris tak terwujudkan, misalnya yang terkandung di dalam semboyan-semboyan yang sifatnya bombastis seperti; pengadilan adalah the last resort bagi pencari keadilan, pengadilan adalah ujung tombak keadilan dan seterusnya.

Sinyalemen ini dapat terjadi tidak lain oleh karena hakim-hakim yang ada sekarang ini tidak mampu melepaskan diri dari belenggu normatif yang telah berakar dalam sistem peradilan ini.
Achmad Ali (1999; 30) mengemukakan; di dunia peradilan pengaruh pandangan positivis melahirkan aliran legis, di mana hakim hanya dipandang sekedar sebagai terompet undang-undang sebagai bouche de la loi saja.


C. Kajian Sosiologi Hukum

Sebagai pengantar memasuki kajian sosiologi hukum ini, terlebih dahulu perlu ada kesepakatan mengenai apa yang dimaksud dengan sosiologi hukum, sehingga dengan pemahaman ini akan mudah mengikuti bahasan selanjutnya.

Soerjono Soekanto (1997;20) mengungkapkan bahwa; Sosiologi hukum merupakan suatu ilmu pengetahuan yang secara teoritis analitis dan empiris menyoroti pengaruh gejala sosial lain terhadap hukum dan sebaliknya.

Berdasarkan dengan pendapat tersebut, dipahami bahwa sosiologi hukum adalah salah satu ilmu pengetahuan yang memfokuskan kajiannya pada kenyataan sosial dengan mempergunakan sudut pandang hukum.

Bismar Siregar (1989; 33) mengatakan bahwa; seandainya terjadi dan akan terjadi benturan bunyi hukum antara apa yang dirasakan adil oleh masyarakat dengan apa yang disebut kepastian hukum, jangan hendaknya kepastian hukum dipaksakan dan rasa keadilan masyarakat dikorbankan.

Tentang kepastian hukum ini, menurut beliau KUHAP ternyata lebih menitik beratkan kepada kepastian hukum, perlindungan hak terdakwa dari penegakan keadilan itu. Selanjutnya, camkan pula apa yang dimaksud dengan hakim harus terjun ke tengah-tengah masyarakat, yakni tiada lain agar hakim lebih peka terhadap perasaan hukum dan rasa keadilan yang berguna dalam masyarakat. Singkatnya hakim tidak boleh terasing dari masyarakat.

Di sinilah persoalannya, karena dalam kenyataannya masih banyak kalangan penegak hukum khususnya para hakim tidak peduli dengan apa yang terjadi di lingkungan nya, demikian pula dengan sikap mengabaikan hal-hal yang menjadi adat kebiasaan masyarakat.














BAB III
PEMBAHASAN


A.Tujuan Hukum Dalam Penegakan Hukum

Menurut Soerjono Soekanto (1993; 5) bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum itu, adalah sebagai berikut;
· Faktor hukumnya sendiri.
· Faktor penegak hukum, pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.
· Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
· Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.
· Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia dalam pergaulan hidup.

Hakim sebagai penegak hukum menurut pasal 27 ayat (1) Undang-Undang No.14 Tahun 1970 bahwa; Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.

Dalam penjelasan pasal ini dikatakan; di dalam masyarakat yang masih mengenal hukum tidak tertulis, serta berada dalam masa pergolakan dan peralihan, hakim merupakan perumus dan penggali dari nilai-nilai hukum yang hidup di kalangan rakyat. Untuk itu ia harus terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian hakim dapat memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.

Hukum itu harus dilaksanakan dan ditegakkan. Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan, yaitu; kepastian hukum (rechtssicherheit), kemanfaatan (zweckmassigkeit) dan keadilan (gerechtigkeit) (Sudikno Mertokusumo, 1991; 134).

Setiap orang mengharapkan dapat ditetapkannya hukum dalam hal terjadi peristiwa yang konkrit. Bagaimana hukumnya itulah yang harus berlaku, sehingga pada dasarnya tidak dibolehkan menyimpang, meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan. Inilah yang diinginkan oleh kepastian hukum.

Kepastian hukum sebagai perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan ketertiban masyarakat.

Sebaliknya masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau penegakan hukum. Hukum adalah untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakan hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat Jangan sampai justeru karena hukumnya dilaksanakan atau ditegakkan timbul keresahan di dalam masyarakat.

Masyarakat sangat berkepentingan bahwa dalam pelaksanaan atau penegakan hukum hendaklah keadilan diperhatikan. Jadi dalam pelaksanaan atau penegakan hukum harus adil. Tetapi hukum tidak identik dengan keadilan. Hukum itu bersifat umum mengikat setiap orang, bersifat menyamaratakan. Contohnya bahwa barangsiapa yang mencuri harus dihukum, jadi setiap orang yang mencuri harus dihukum, tanpa membeda-bedakan siapa yang mencuri. Akan tetapi sebaliknya keadilan itu bersifat subyektif, individualistis dan tidak menyamaratakan. Seperti adil menurut Si Anton belum tentu adil menurut Si Dono.

Di dalam menegakkan hukum harus ada kompromi antara ketiga unsur tersebut. Ketiga unsur itu harus mendapat perhatian secara proporsional seimbang. Meskipun dalam praktek tidak selalu mudah mengusahakan kompromi secara proporsional seimbang antara ketiga unsur tersebut, namun harus berusaha ke arah itu, karena ketiga unsur itulah merupakan tujuan hukum yang akan ditegakkan dalam masyarakat.


B. Tujuan Hukum Dalam Penemuan Hukum

Penemuan hukum lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang berwewenang untuk itu yang diberi tugas untuk melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang konkrit. (Sudikno Mertokusumo, 1991; 136).

Proses konkretisasi dan individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa konkrit. Sementara orang lebih suka menggunakan pembentukan hukum dari pada penemuan hukum, oleh karena istilah penemuan hukum memberi sugesti seakan-akan hukumnya sudah ada. Namun harus diketahui bahwa dalam istilah pembentukan hukum oleh hakim sama saja kalau dikatakan penemuan hukum oleh hakim. Sedang pembentukan hukum oleh suatu lembaga yang berwewenang itu disebut pembentukan hukum.

Penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim dalam memeriksa dan memutus suatu perkara, hakim ini dianggap mempunyai wibawa, begitu pula ilmuan hukum mengadakan penemuan hukum. Hanya kalau hasil penemuan hukum oleh hakim adalah hukum,sedang hasil penemuan hukum oleh ilmuan hukum bukanlah hukum melainkan ilmu atau doktrin. Sekalipun yang dihasilkan itu bukanlah hukum, namun di sini digunakan istilah penemuan hukum juga oleh karena doktrin ini kalau diikuti dan diambil alih oleh hakim dalam putusannya, itu juga akan menjadi hukum.

Dalam rangka itu, sebagai upaya mengkaji putusan hakim dengan mempergunakan optik sosiologi hukum, akan didasarkan pada pendapat beberapa pakar sosiologi hukum, sebagaimana yang dikemukakan oleh Alvin S.Johnson (1994;10-11) yang mengutip pendapat Dean Rescoe Pound yang mengutarakan bahwa; besar kemungkinan kemajuan yang terpenting dalam ilmu hukum moderen adalah perubahan pandangan analitis ke fungsional. Sikap fungsional menuntut supaya hakim, ahli hukum dan pengacara harus ingat adanya hubungan antara hukum dan kenyataan sosial yang hidup, dan tetap memperhatikan hukum yang hidup dan bergerak, sebab biang ketidak adilan adalah konsep-konsep kekuasaan yang sewenang-wenang, sebagaimana yang dinyatakan oleh hakim Benjamin Cardozo, ia melukiskan pembatasan logikanya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sosiologis yang terjadi dalam proses pengadilan dewasa ini. Keterangan yang dimaksudkan sebelumnya telah dilancarkan oleh hakim O.W.Holmes, bahwa kehidupan hukum tidak berdasarkan logika, melainkan pengalaman. Pengalaman nyata dari kehidupan sosial yang tidaklah mungkin diabaikan dalam setiap proses Pengadilan, jika tidak menginginkan proses tersebut sebagai permainan kata-kata. (Georges Gurvitch, 1996; 2).

Hakim dalam menjatuhkan putusannya dibimbing oleh pandangan-pandangan atau pikirannya sendiri. Dalam penemuan hukum yang otonom ini hakim memutus menurut apresiasi pribadi. Di sini hakim menjalankan fungsi yang mandiri dalam penerapan undang-undang terhadap peristiwa hukum yang konkrit. Dalam hal ini hakim diharapkan mampu mengkaji hukum-hukum yang hidup di dalam masyarakat. Karena terkadang peristiwa konkrit yang terjadi itu, tidak tertulis aturannya dalam peraturan perundang-undangan.

Masyarakat mengharapkan bahwa hakim di dalam menjatuhkan putusan hendaklah memenuhi tiga unsur tujuan hukum yaitu kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan sebagaimana halnya pada penegakan hukum.














BAB IV
P E N U T U P


A. Kesimpulan

Dari uraian-uraian di atas dapatlah diambil suatu kesimpulan bahwa tujuan hukum adalah untuk mencapai kepada kepastian hukum dan kemanfaatan hukum serta keadilan, baik dalam rangka penegakan hukum maupun dalam penemuan hukum.


B. S a r a n

Diharapkan kepada para penegak hukum bahwa di dalam proses pembentukan hukum dan proses penemuan hukum agar dapat mengkaji dan menggali nilai-nilai hukum yang hidup di dalam masyarakat, agar dapat tercapai tujuan hukum.


















DAFTAR PUSTAKA


Achmad Ali. 1999. Pengadilan Dan Masyarakat. Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin. Ujung Pandang.
Alvin S.Johnson. 1994. Sosiologi of law. Penerjemah; Rinaldi Simamora,S.H. Cet.I. PT. Rineka Cipta. Jakarta.
Bismar Siregar. 1989. Bunga Rampai Karangan Tersebar 1. Cet.1. Rajawali. Jakarta.
Georges Gurvitch. 1996. Sosiologi Hukum. Penerjemah; Sumantri Mertodipuro dan Moh.Radjab. Cet.V. Bhratara. Jakarta.
Satjipto Rahardjo. 1996. Ilmu Hukum. Cet.IV. PT.Citra Aditya. Bandung.
Soerjono Soekanto. 1993. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
. Sudikno Mertokusumo, dan A.Pitlo. 1993.Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum. Citra Aditya Bakti. Yogyakarta.
----------. 1991. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar). Liberty. Yogyakarta.

MAKALAH FILSAFAT HUKUM

BAB I
PENDAHULUAN

A.Latar Belakang
            Manusia adalah makhluk sosial, maka ia melakukan interaksi sebagai tuntutan alam. Manusia tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dalam suasana yang terisolasi. Dengan kata lain, manusia senantiasa membutuhkan bantuan manusia lain.
           Hukum sebagai sesuatu yang berkenaan dengan manusia, maka hubungan manusia dengan sesama manusia lainnya ada dalam suatu pergaulan hidup. Sebab tanpa pergaulan hidup tidak akan ada hukum (ibi societas ibi ius, zoon politicon). Hukum berfungsi untuk mengatur hubungan pergaulan antara manusia. Tetapi tidak semua perbuatan manusia itu memperoleh pengaturannya. Hanya perbuatan atau tingkah laku yang diklasifikasikan sebagai perbuatan hukum saja yang menjadi perhatian. (Lili Rasjidi, 1982:8)
           Hubungan hukum itu terdiri dari ikatan-ikatan antara individu dengan individu dan antara individu dengan masyarakat. Dalam usahanya mengatur, hukum menyesuaikan dengan kepentingan masyarakat secara baik. Sebagai kumpulan peraturan atau kaedah, hukum mempunyai isi yang bersifat umum dan normatif, umum karena berlaku bagi setiap individu atau setiap orang, normatif karena menentukan apa yang seyogyanya dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan, serta menentukan bagaimana cara melaksanakan kepatuhan pada kaedah-kaedah.
           Kaedah hukum bertujuan untuk melindungi kepentingan manusia sebagai makhluk sosial. Karenanya kaedah tersebut harus ditaati, harus dilaksanakan dan dipertahankan, tapi bukannya dilanggar. Melakukan pelanggaran terhadap kaedah hukum dinilai buruk, sebaliknya patuh terhadap kaedah itu adalah baik. Olehnya itu  kaedah hukum dpat juga disebut sebagai kaedah etis. (Sudikno Mertokusumo,1991:36)
           Etika itu menyelidiki segala perbuatan manusia kemudian menetapkan hukum baik atau buruk, tetapi bukanlah semua perbuatan itu dapat diberi hukum, sebagaimana perbuatan manusia itu ada yang timbul tanpa kehendaknya seperti bernapas, denyut jantung dan memicingkan mata dengan tiba-tiba. Ada pula perbuatan manusia yang timbul karena kehendak dan setelah dipikir masak-masak akan hasil dan akibatnya, sebagaimana orang yang melihat pembangunan rumah sakit yang dapat memberi manfaat kepada orang banyak untuk meringankan penderitaan yang sakit, kemudian ia lalu bertindak untuk membangun rumah sakit itu. Begitu pula jika ada orang bermaksud akan membunuh musuhnya, lalu memikirkan cara-caranya dengan pikiran yang tenang, kemudian ia melakukan apa yang ia kehendaki. Inilah perbuatan yang disebut perbuatan kehendak, yang dapat diberi hukum baik atau buruk. (Ahmad Amin,1995:3)
              Jadi etika sebagai usaha manusia untuk menilai mana yang baik dan mana yang buruk terhadap perbuatan yang dilakukan. Karena dengan mengetahui nilai baik dan buruk itu, sehingga manusia terdorong untuk melakukan perbuatan berdasarkan nilai itu tadi.
           Jika di dalam suatu masyarakat tertanam nilai kebaikan pada masing-masing individu, maka nilai tersebut akan tercermin dalam perilakunya dengan melakukan perbuatan baik, sehingga akan menjadi etika pada masing-masing individu tersebut. Suatu ketika yang sudah tertanam kuat dalam masyarakat akan memudahkan untuk menciptakan suatu kaedah, sehingga kedamaian dapat diwujudkan.
           
B. Rumusan Masalah
            Bertitik tolak dari latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan masalahnya yaitu;
            1. Apakah hukum itu ?
            2. Apakah etika itu ?
            3. Bagaimanakah hubungan antara hukum dan etika ?  s






BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Hukum
            Untuk memperoleh gambaran mengenai defenisi hukum sangatlah sulit, tetapi bukan berarti tidak perlu membuat suatu defenisi hukum. Menurut Achmad Ali (2002:9-10) bahwa hukum merupakan sesuatu yang luas dan abstrak, hukum terlalu luas aspeknya, meskipun dalam manifestasinya bisa berwujud konkrit. Penggunaan defenisi hukum lebih banyak tergantung pada aspek mana hukum itu dipandang. Sehubungan dengan hal tersebut,  Rusli Effendy dkk (1991:6) mengutip pendapat Immanuel Kant menyatakan bahwa “noch suchen die juristen eine definition zu ihrem begriffe von recht” artinya, tidak ada seorang jurispun yang dapat memberikan defenisi hukum secara tepat. Kedua pernyataan pakar tersebut, memberikan isyarat bahwa betapa hukum itu sulit untuk diberikan defenisi. Akan tetapi, sebagai suatu pegangan untuk kelengkapan berbagai defenisi hukum, maka dapat diambil pendapat beberapa pakar.
           Hans Kelsen mendefenisikan hukum sebagi suatu perintah memaksa terhadap tingkah laku manusia, jadi hukum adalah kaidah primer yang menetapkan sanksi-sanksi.Pandangan ini sangat mencerminkan ciri positivisnya, Kelsen melihat hukum positif sebagai satu-satunya hukum, karena memisahkan dari segala pengaruh anasir-anasir non hukum seperti moral, politis, ekonomis, sosiologis, dan sebagainya. Pandangan semacam ini tidak relevan lagi dalam masa modern ini. (Achmad Ali,2002:29)
           Emmanuel Kant mendefenisikan hukum sebagai suatu keseluruhan kondisi-kondisi di mana terjadi kombinasi antara keinginan-keinginan pribadi seseorang dengan keinginan-keinginan pribadi orang lain sesuai dengan hukum umum mengenai kemerdekaan. Defenisi Kant tidak memisahan antara hukum dan kaidah sosial lainnya. Jika hanya sekedar kondisi yang menciptakan kombinasi keinginan pribadi seseorang dengan pribadi lainnya maka kondisi seperti itu juga mampu diciptakan oleh kaedah sosial lainnya seperti moral, kesopanan dan agama. (Ibid:27) Jadi defenisi tersebut, lebih ditekankan pada aspek kepatuhan dan pembatasan terhadap kehendak bebas dengan berdasar pada seperangkat peraturan. Dengan kata lain, penekanannya terletak pada aspek ketaatan.
          E. Utrecht memberikan pula defenisi hukum yaitu himpunan petunjuk hidup perintah dan larangan yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat, yang seharusnya ditaati  oleh anggota masyarakat yang bersangkutan, dan akibat pelanggaran dari petunjuk hidup tersebut dapat menimbulkan tindakan oleh pemerintah atau penguasa masyarakat itu. Dari defenisi ini Utrecht memandang hukum tidak sekedar kaedah, melainkan juga sebagai gejala sosial dan sebagai kebudayaan. (Ibid:32) Defenisi ini penekanannya terletak pada aspek kemanfaatan berupa jaminan ketertiban pada warga masyarakat sebagai suatu komunitas.
          Leon Duguit mendefenisikan hukum yang merupakan tingkah laku masyarakat, sebagai aturan  yang daya penggunaannya pada saat tertentu diindahkan oleh warga masyarakat sebagai jaminan dari kepentingan bersama terhadap orang yang melakukan pelanggaran. (Ibid:22) Sedang Grotius mendefenisikan “law is a rule of moral action obliging to that wich is right”(Ibid:27)  (Hukum adalah peraturan tentang tindakan moral yang menjamin keadilan). Kedua defenisi tersebut, menunjukkan terhadap penekanan berupa jaminan keadilan.
           Curzon (1979:140) mendefenisikan hukum yakni, “Law is the sum of the conditions of social life in the widest sense of the term, as secured by the power of the states through the means of external compulsion” (Hukum adalah sejumlah kondisi kehidupan sosial dalam arti luas, yang dijamin oleh kekuasaan negara melalui cara paksaan yang bersifat eksternal). Sejalan dengan hal tersebut, Achmad Ali (2002:35) cenderung melihat hukum sebagai seperangkat kaedah atau aturan yang tersusun dalam suatu sistem,  yang berisikan petunjuk tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh manusia sebagai warga masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, yang bersumber baik dari masyarakat sendiri maupun dari sumber lain, yang diakui berlakunya oleh otoritas tertinggi dalam masyarakat tersebut, serta benar-benar diberlakukan oleh warga masyarakat (sebagai suatu keseluruhan) dalam kehidupannya, dan jika kaedah tersebut dilanggar akan memberikan kewenangan bagi otoritas tertinggi untuk menjatuhkan sanksi yang sifatnya eksternal.
           Bagi kalangan Muslim, yang dimaksudkan sebagai hukum adalah hukum Islam, yaitu keseluruhan aturan hukum yang bersumber dari Al-Quran, dan dalam kurun waktu tertentu lebih dikonkritkan oleh Rasulullah Muhammad SAW dalam tingkah laku beliau, yang biasa disebut Sunnah Rasul. Kaedah-kaedah yang bersumber dari Allah SWT kemudian lebih dikonkritkan dan diselaraskan dengan kebututhan zamannya melalui ijtihad atau penemuan hukum oleh para mujtahid dan pakar pada bidangnya masing-masing. Seperti Al-Imam Abu Hamid Al-Ghazzali berpendapat bahwa; “Fiqhi itu bermakna faham dan ilmu. Namun pada uruf ulama telah menjadi sesuatu ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara yang tertentu bagi perbuatan-perbuatan para mukallaf, seperti wajib, haram, mubah, sunnat, makruh, shahih, fasid, bathil, qadla, ada dan sepertinya”. (Ibid:33-34)
           Begitu pula oleh Ahmad Zaki Yamani memberikan pengertian syariat Islam secara luas dan sempit. Syariat Islam secara luas yaitu meliputi semua hukum yang telah disusun dengan teratur oleh para ahli fiqhi dalam pendapat-pendapatnya tentang persoalan di masa mereka, atau yang mereka perkirakan akan terjadi kemudian, dengan mengambil dali-dalil langsung dari Al-Quran dan Al-Hadits, atau sumber pengambilan hukum seperti ijma, qiyas, istihsan, isitish-shab dan mashalih mursalah. Sedang syariat Islam secara sempit adalah terbatas pada hukum-hukum yang berdalil pasti dan tegas, yang tertera dala Al-Quran dan Hadits shaheh atau ditetapkan dengan Ijma.(Ibid:34)
           Berdasarkan dengan beberapa pendefenisian hukum tersebut, maka dapat dikatakan bahwa hukum merupakan persoalan suruhan dan larangan, baik secara lahiriyah maupun bathiniyah, sehingga kalau suruhan itu dilaksanakan tentu mendapat hadiah/pahala, dan jika larangan dilakukan tentu mendapat sanksi/ganjaran. Dasarnya Al-Quran Surah An-Nisa ayat (59) yang maksudnya: “Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan orang-orang yang berkuasa di antara kamu, jika di antaramu ada perbedaan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasulnya, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian, yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya.   
           Dengan demikian itu, bahwa terjadinya perbedaan di antara para pakar tentang pendefenisian hukum disebabkan oleh perbedaan sudut pandang. Betapa luas aspek hukum sehingga menimbulkan beragam defenisi yang luas cakupannya. Hukum terkadang dipandang dari sudut sosiologi, hukum biasanya ditinjau dari aspek kesejarahan, serta hukum adakalanya dilihat dari segi filsafat, dan dari segi agama.
           
B. Pengertian Etika
            Pada kehidupan manusia terentang dalam suatu jaringan norma-norma yang berupa larangan, pantangan, kewajiban-kewajiban dan lain sebagainya. Norma-norma itu terdiri atas norma-norma tehnis, norma sopan santun, norma hukum, norma moral dan norma-norma keagamaan (A.Gunawan Setiardja,1990:90). Norma-norma itulah yang menjadi kekuatan normatif untuk diperhitungkan dan dipijakinya dalam kehidupan dan pencarian pemenuhan kebutuhan hidup antar manusia.
            Rumusan tersebut kemudian ditarik dalam sebuah defenisi inti bernama “moral” (etika). Orang tinggal menyebut seseorang yang melanggar hukum dengan julukan sebagai penjahat atau pelecehan moral hukum. Seperti seseorang yang melakukan perzinaan maka dapat disebut sebagai pelanggar moral keagamaan. Juga seseorang yang melakukan satu jenis pelanggaran dapat disebut sebagai pelanggar sekian macam kaedah moral. Kemudian jika seseorang berbicara tentang hal-hal yang baik, hidup teratur, bekerja sesuai dengan peraturan perundang-undangan, tidak melanggar aturan main, maka hal itu sudah masuk dalam studi mengenai bagaimana hidup yang berlandaskan etika dan bagaimana hidup yang disebut melanggar etika. (Abdul Wahid,1997:2)
           Bertens mengemukakan bahwa, “etika” berasal dari bahasa Yunani kuno “ethos” dalam bentuk tunggal yang berarti adat kebiasaan, adat isitadat dan akhlak yang baik. Bentuk jamak dari “ethos” adalah “ta etha” artinya adat kebiasaan. Dari bentuk jamak tersebut, terbentuklah istilah “etika” yang oleh filsuf Yunani Aristoteles dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Berdasarkan asal usul kata “etika” ini, maka diartikan ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. (Abdulkadir Muhammad, 2001:13)
            W.J.S. Poerwadarminta (1999:278) dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia mengartikan etika adalah ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral). Pandangan ini selain menyamakan antara etika dengan moral, juga menyamakan etika dengan akhlak, yang dalam etika Islam dikategorikannya pada dua akhlak, yaitu akhlak yang baik disebut “akhlaqul mahmudah” dan akhlak yang berkaitan dengan perilaku buruk disebut “akhlaqul madzmumah”.
            Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan,1989:237) merumuskan pengertian etika dalam tiga arti yaitu: 1) ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak); 2) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; dan 3) nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
           Inu Kencana Syafiie (1994:1) menjelaskan bahwa etika sama artinya dengan kata Indonesia “kesusilaan” yang terdiri dari bahasa sansekerta “su” berarti baik, dan “sila” berarti moral kehidupan. Jadi etika menyangkut kelakuan yang menuruti norma-norma yang baik. Pengertian ini menempatkan etika sebagai seperangkat norma dalam kehidupan manusia yang tidak berbeda dengan norma-norma kesusilaan.
            E.Sumaryono (1995:12) menjelaskan pula pengertian etika yaitu berasal dari istilah bahasa Yunani ethos yang mempunyai arti adat istiadat atau kebiasaan yang baik. Bertolak dari pengertian ini kemudian etika berkembang menjadi studi tentang kebiasaan manusia berdasarkan kesepakatan, menurut ruang dan waktu yang berbeda, yang menggambarkan perangai manusia dalam kehidupan pada umumnya. Selain itu, etika juga berkembang menjadi studi tentang kebenaran dan ketidak benaran berdasarkan kodrat manusia yang diwujudkan melalui kehendak manusia. Berdasarkan perkembangan arti tadi, etika dapat dibedakan antara etika perangai dan etika moral.
            Etika perangai adalah adat istiadat atau kebiasaan yang menggambarkan perangai manusia dalam hidup bermasyarakat di daerah-daerah tertentu, seperti berbusana adat, upacara adat, perkawinan semenda dan sebagainya. Sedang etika moral adalah yang berkenaan dengan kebiasaan berperilaku baik dan benar berdasarkan kodrat manusia, hal ini terwujud dalam bentuk kehendak manusia berdasarkan kesadaran berupa suara hati nurani, seperti berbuat jujur, menghormati guru, menyantuni anak yatim, membela kebenaran dan keadilan serta banyak lagi yang lain. (Abdulkadir Muhammad,2001:15)
         Hamzah  Yakub (1983:13) merumuskan bahwa, etika adalah ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang buruk serta memperlihatkan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran.
          Sudikno Mertokusumo (1991:36) merumuskan pula pengertian etika yaitu usaha manusia untuk mencari norma baik dan buruk. Etika diartian juga sebagai “the principles of morality” atau “the field of study or morals or right conduct”. Secara lebih sederhana dapatlah dikatakan bahwa etika adalah filsafat tingkah laku atau filsafat mencari pedoman untuk mengetahui bagaimana manusia bertindak yang baik atau etis.
            Pendapat E.Wayne Mondy dan Robert M.Noe tentang etika yang dikutif oleh Moekijat (1995:6) menyatakan bahwa “ethics is the discipline with is good and bad or right and wrong or with moral duty and obligation”. Etika adalah suatu disiplin (keadaan pengendalian diri sendiri dan tingkah laku) yang berkaitan dengan apa yang baik dan buruk atau dengan apa yang benar dan apa yang salah atau dengan hak dan kewajiban moral.
           Pandangan Sudarsono (1993:188) tentang etika yaitu ilmu yang membahas tentang perbuatan manusia baik atau buruk sejauh yang dapat dipahami oleh pikiran manusia. Etika disebut juga akhlak atau disebut pula moral.
           Imam Al-Gazali (tt:56) mendefenisikan etika (akhlak) “Kebiasaan jiwa yang terpatri dalam diri manusia yang dengannya dapat menimbulkan berbagai tingkah laku (perbuatan), tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan”.
            Mencermati dari sekian rumusan tentang etika (moral), maka dapat dikatakan bahwa etika itu suatu studi dan panduan tentang perilaku yang harus dikerjakan atau sebaliknya tidak dilakukan oleh manusia. Apa yang disebut sebagai perbuatan baik atau buruk dijadikannya sebagai muatan secara umum dari etika.
           Etika merupakan pandangan hidup dan pedoman tentang bagaimana orang itu seyogyanya berperilaku. Etika yang berasal dari kesadaran manusia merupakan petunjuk tentang perbuatan mana yang baik dan mana yang buruk. Etika juga merupakan penilaian atau kualifikasi terhadap perbuatan seseorang dan atau merupakan nilai moralitas yang sesuai dengan standar moral dan nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan masyarakat.
           Dengan demikian itu, etika adalah studi tentang kebenaran dan ketidak benaran yang didasarkan atas kodrat manusia, yang bermanifestasi di dalam kehendak manusia. Nilai-nilai moral yang dikembangkan dengan maksud untuk memungkinkan adanya kehendak bebas. Nilai-nilai tersebut juga terwujud secara nyata di dalam setiap kontak antar individu dalam pelaksanaan kewajiban dan kesadaran masing-masing individu sehingga norma-norma moral yang berlaku selalu mendapatkan perhatian dan pembahasan dalam segala situasi yang melingkari hidup manusia.
           Jadi ajaran etika paralel dengan ajaran moral, yang mengajarkan orang supaya setiap berkomunikasi bersikap jujur, sopan dan berakhlak, saling hormat-menghormati dan saling toleransi dalam arti yang positif.

C. Hubungan Antara Hukum Dan Etika
Interaksi antar individu dalam suatu masyarakat seringkali menimbulkan gesekan yang saling berbenturan. Oleh karena itu, diperlukan suatu tatanan dalam masyarakat yang mampu menciptakan keteraturan, ketertiban dan ketetntraman. Tatanan yang dimaksudkan adalah sebuah perangkat yang berisi petunjuk-petunjuk tingkah laku berupa kaedah hukum. Selain kaedah hukum terdapat pula beberapa kaedah dalam masyarakat yang diperlukan sebagai upaya untuk mewujudkan kedamaian dan kesejahteraan.
Purnadi Purbacaraka (1993:7-8) menjelaskan bahwa kaedah-kaedah itu sebagai patokan atau pedoman untuk hidup, namun hidup mempunyai dua aspek secara umum, yaitu aspek hidup pribadi dan aspek hidup antar pribadi. Setiap aspek hidup tersebut mempunyai kaedah-kaedahnya masing-masing yaitu:
1.      Pada aspek hidup pribadi mencakup :
a.       Kaedah-kaedah kepercayaan / keagamaan untuk mencapai kesucian hidup pribadi atau kehidupan ber-Iman.
b.      Kaedah-kaedah kesusilaan (moral/etika dalam arti sempit) yang tertuju pada kebaikan hidup pribadi atau kebersihan hati nurani dan akhlak.
2.      Pada aspek hidup antar pribadi meliputi :
a.       Kaedah-kaedah sopan santun yang maksudnya untuk kesedapan hidup
bersama.
b.      Kaedah-kaedah hukum yang tertuju kepada kedamaian hidup bersama.
          Menurut Satjipto Rahardjo (1991:33) bahwa kaedah hukum memuat suatu penilaian mengenai perbuatan tertentu. Hal itu jelas tampak dalam bentuk suruhan dan larangan. Kaedah hukum ini diwujudkan dalam bentuk petunjuk bertingkah laku. Oleh karena itu kaedah hukum disebut juga petunjuk tingkah laku. Lebih lanjut dijelaskan bahwa hukum sebagai kebiasaan yang menjalani pelembagaan kembali untuk memenuhi tujuan yang lebih terarah dalam kerangka apa yang disebut hukum. Melalui pelembagaan itu digarap secara khusus sehingga memperoleh bentuk yang dapat dikelola secara hukum.
            Dalam suatu peristiwa yang belum ada kaedah hukumnya, maka pengadilan (lembaga yudikatif) tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara dengan alasan tidak ada hukumnya, (vide pasal 14 ayat (1) UU No.14 Tahun 1970) dan hal ini mungkin saja terjadi karena kaedah sosial yang non hukum  ada dalam masyarakat. Oleh karena itu, untuk menetapkan hukumnya terhadap peristiwa yang belum ada kaedah hukumnya, maka pengadilan dalam hal ini hakim harus merujuk kaedah-kaedah atau nilai-nilai hukum yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat. Olehnya itu hakim sebagai penegak hukum dan keadilan sekaligus sebagai pembentuk hukum, maka wajib baginya menggali dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat (vide pasal 27 ayat (1) UU No.14 Tahun 1970).  
 Dengan demikian itu, dalam mewujudkan kedamaian dalam suatu masyarakat, muatan hukum berupa sebuah perangkat peraturan-peraturan dan petunjuk-petunjuk tingkah laku yang berisikan kaedah-kaedah kepercayaan/keagamaan, kaedah-kaedah kesusilaan, kaedah-kaedah kesopanan dan kaedah-kaedah hukum yang merupakan suatu keniscayaan.
Sehubungan dengan hal tersebut, antara hukum dan etika adalah menyangkut perbuatan manusia dan tujuan keduanya hampir sama, yaitu mengatur perbuatan manusia untuk kebahagiaan mereka. Namun lingkungan etika lebih luas, etika memerintahkan berbuat apa yang berguna dan melarang berbuat segala apa yang mudharat. Sedang hukum tidak demikian, karena banyak perbuatan yang terang berguna tidak diperintahkan oleh hukum, seperti berbuat baik kepada fakir miskin, dan perlakuan baik kepada orang tua, demikian juga beberapa perbuatan yang mendatangkan kemudharatan tidak dicegah oleh hukum, umpamanya dusta dan dengki. Hukum tidak mencampuri hal ini, karena hukum tidak memerintahkan dan tidak melarang, kecuali apabila dapat menjatuhkani hukuman kepada orang yang menyalahi perintah dan larangan.
Terkadang untuk melaksanakan suatu undang-undang itu hajat mempergunakan cara-cara yang lebih membahayakan kepada ummat, dari apa yang diperintahkan atau dicegah oleh undang-undang.
Demikian pula ada beberapa keburukan yang samar-samar, seperti mengingkari nikmat dan berkhianat, dan ini undang-undang tidak sampai untuk menjatuhkan siksaan kepada pelakunya. Olehnya itu, tidak dapat jatuh di bawah kekerasan undang-undang dan keadaannya dalam hal itu bukan seperti pencurian dan pembunuhan.
Perbedaan lainnya adalah bahwa hukum melihat segala perbuatan dari jurusan hasil atau akibatnya yang lahir, sedang etika menyelami gerak jiwa manusia yang bathin dan meskipun tidak menimbulkan perbuatan lahir. etika juga menyelidiki perbuatan yang lahir. (Ahmad Amin,1995:10)
Lebih jelas dapat dikatakan bahwa hukum itu dapat berkata “jangan mencuri dan jangan membunuh”, tetapi tidak dapat berkata sesuatu tentang kelanjutannya. Sedang etika bersamaan dengan hukum di dalam mencegah pencurian dan pembunuhan, sehingga dapat menambahkan dengan kata “jangan berpikir dalam keburukan atau jangan menghayalkan yang tidak berguna”. Hukum dapat menjaga hak milik manusia, dan mencegah orang yang akan melanggarnya, tetapi tidak dapat memerintahkan kepada si pemilik agar mempergunakan miliknya untuk kebaikan. Adapun yang dapat memerintahkan adalah etika.
Dengan demikian itu, etika sebagai pedoman untuk mengetahui bagaimana seharusnya manusia bertindak yang baik atau etis dan menghindari perbuatan buruk. Secara sederhana dapat dikatakan, bahwa etika mencoba marangsang timbulnya perasaan moral, mencoba menemukan nilai-nilai hidup yang baik dan benar, serta mengilhami manusia supaya berusaha mencari nilai-nilai tersebut.
Sedang hukum merupakan seperangkat kaedah atau norma yang tersusun dalam suatu sistem yang berisikan petunjuk bertingkah laku, tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan dan disertai dengan sanksi, yang bersumber dari masyarakat sendiri maupun dari sumber lain yang diakui keberlakuannya oleh otoritas tertinggi dalam masyarakat tersebut, dan benar-benar diberlakukan oleh warga masyarakat. Jika kaedah tersebut dilanggar akan memberikan kewenangan pada otoritas tertinggi untuk menjatuhkan sanksi. Agar dengan sanksi itu, masyarakat diharapkan supaya selalu berada dalam koridor yang baik serta menghindarkan diri dari perbuatan melanggar hukum, guna menciptakan kedamaian dalam masyarakat.
Kedamaian di sini adalah suatu keadaan yang mencakup dua hal, yaitu ketertiban atau keamanan dan ketentraman atau ketenangan. Ketertiban atau keamanan menunjukkan pada hubungan atau komunikasi lahiriyah, jadi melihat pada proses interaksi para pribadi dalam kelompok masyarakat. Sedang Ketentraman atau ketenangan menunjuk pada keadaan bathiniyah, jadi melihat pada kehidupan bathiniyah (internal life) masing-masing pribadi dalam kelompok masyarakat. (Purnadi Purbacaraka dkk,1993:20)
Dengan demikian itu, dapat dipahami bahwa hubungan hukum dan etika sangat erat. Ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan.(Sudikno Mertokusumo,1991:36). Pengertian-pengertian dasar hukum adalah pengertian yang saling berhubungan antara nilai, etika, kaedah dan pola perilaku. Hukum ditujukan kepada manusia sebagai makhluk sosial. Sebaliknya etika ditujukan kepada manusia sebagai individu, yang berarti bahwa hati nuranilah yang memiliki peranan karena disitulah perasaan yang berfungsi.
Sasaran etika semata-mata adalah perbuatan manusia yang dilakukan dengan sengaja. Baik atau buruk, tercela dan tidak tercela, suatu perbuatan itu dihubungkan dengan ada tidaknya kesengajaan, kalau ada unsur kesengajaan dalam pelanggaran maka tercela. Maka seseorang itu harus bertanggung jawab atas perbuatannya yang disengaja. Perbuatan yang disengaja itu harus sesuai dengan kesadaran etisnya.
Apa yang menurut masyarakat demi kedamaian dalam arti ketertiban dan ketentraman, serta kesempurnaan yang baik, itulah baik. Hukum adanya hanya dalam masyarakat manusia, sedangkan masyarakat manusia itu beraneka ragam, maka dapatlah dikatakan bahwa ukuran baik dan buruk dalam hal ini tidak mungkin bersifat universal, karena hukum itu terikat pada daerah atau wilayah tertentu.
 Kesadaran etis bukan hanya berarti sadar akan adanya kebaikan dan keburukan, tetapi lebih dari itu, harus ada kesadaran untuk mewujudkannya dalam perilaku. Karena pelanggaran etika bukan merupakan pelanggaran kaedah hukum melainkan dirasakan sebagai pertentangan hati nurani. Sementara kaedah hukum berisikan pedoman tingkah laku yang mengarahkan tindakan manusia pada perilaku yang baik, dan menghindarkan perbuatan buruk, serta mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa dengan ancaman sanksi. Akan tetapi jangkauan hukum kadang terbatas, sehingga hati nuranilah yang memiliki peran yang sangat penting dan luas terhadap etika bagi setiap orang.         





BAB III
P E N U T U P

A. Kesimpulan
Dari uraian-uraian di atas dapatlah diambil  kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut :
Hukum  merupakan seperangkat kaedah yang berisikan petunjuk tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh manusia sebagai warga masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, yang bersumber baik dari masyarakat sendiri maupun dari sumber lain, yang keberlakuannya diakui oleh otoritas tertinggi dalam masyarakat tersebut, dan jika dilanggar akan memberikan kewenangan bagi pemegang otoritas itu untuk menjatuhkan sanksi. Jadi tercakup di dalamnya suruhan dan larangan.
Etika adalah usaha hati nurani manusia untuk memilih norma baik dan buruk, yang merupakan keinginan jiwa manusia untuk menimbulkan perbuatan baik yang diwujudkan dalam bentuk ketaatan, serta kehendak jiwa manusia yang menimbulkan perbuatan buruk yang direalisasikan dalam bentuk ketidak taatan. Perbuatan baik dan buruk tersebut dengan mudah dilakukan karena telah menjadi kebiasaan tanpa memerlukan terlebih dahulu pertimbangan.
Hukum dan etika memiliki hubungan timbal balik. Ibarat dua sisi mata uang yang antara keduanya tidak dapat dipisahkan. Hukum sebagai sarana kontrol sosial di samping sebagai perekayasa sosial, berusaha untuk menjaga agar masyarakat tetap berada pada bingkai dan koridor hukum. Dengan kata lain, hukum berusaha mengarahkan masyarakat untuk selalu berperilaku baik. Sementara kesadaran etika bukan hanya sadar akan adanya baik dan buruk, tetapi juga sadar untuk mewujudkannya dalam perilaku yang baik, pada akhirnya akan memberikan kontribusi terhadap penegakan hukum. Pelanggaran etika bukanlah merupakan pelanggaran kaedah hukum melainkan pelanggaran tersebut dirasakan bertentangan dengan hati nurani. Ketika kesadaran hati nurani terwujud dalam perilaku, dengan sendirinya kedamaian akan dirasakan

B. S a r a n
Untuk melengkapi uraian ini, maka penulis menyarankan :
Kepada para pihak yang berwenang (legislatif dan eksekutif) agar di dalam membuat dan mengesahkan suatu undang-undang/peraturan-peraturan yang merupakan hukum, hendaklah menyesuaikan kebutuhan masyarakat, atau memperhatikan kondisi dan aspirasi masyarakat, sebab jangan sampai undang-undang/peraturan-peraturan itu henya menjadi kata-kata mutiara yang indah lalu tidak dijalankan oleh masyarakat.
Kepada para pihak penegak hukum dalam hal ini pihak yudikatif agar betul dapat menjadi penegak hukum yang berakhlak mulia, sehingga dapat menjunjung tinggi kejujuran dan keadilan, yang dengan sendirinya dapat mematuhi kode etik masing-masing penegak hukum. 
Terhadap semua pihak selaku warga masyarakat Indonesia yang beragama, supaya menjalankan agamanya dengan baik dan benar, sehingga nantinya dapat menaati hukum, baik hukum yang dibuat oleh yang berwenang maupun hukum agama yang dianut.











DAFTAR PUSTAKA


  Al-Quranul Karim.

Abdulkadir Muhammad, 2001, Etika Profesi Hukum, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung.

Abdul Wahid, 1997, Etika Profesi Hukum Dan Nuansa Tantangan Profesi Hukum Di Indonesia, Tarsito, Bandung.

  Achmad Ali, 2002, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis Dan 
            Sosiologis), Gunung Agung, Jakarta.

A.Gunawan Satiardja, 1990, Dialektika Hukum Dan Moral Dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia, Kanisius-BPK Gunung Mulia, Yogya-Jakarta.

Ahmad Amin, 1995, Etika (Ilmu Akhlak), Bulan Bintang, Jakarta.

  Al-Gazaly, tt., Ihya Ulumuddin, tp., Mesir.

Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 1989, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.

. E.Sumaryono,1995, Etika Profesi Hukum, Kanisius, Yogyakarta.

  Hamzah Yakub, 1983, Etika Islam, Al-Ikhlas, Surabaya.

  Inu Kencana Syafiie, 1994, Etika Pemerintah, Rineka Cipta, Jakarta.

  L.B.Curzon, 1979, Jurisprudence, Macdonald and evans Ltd. Estover.

  Moekijat, 1995, Asas-Asas Etika, Mandar Maju, Bandung.

  Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, 1993, Perihal Kaedah Hukum, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung.

  Rusli Effendy dkk, 1991, Teori Hukum, Hasanuddin University Press, Ujungpandang.

  Satjipto Rahardjo, 1991, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.

  Sudarsono, 1993, Ilmu Filsafat: Suatu Pengantar, Rineka Cipta, Jakarta.

  Sudikno Mertokusumo, 1991, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta.

  W.J.S.Poerwadarminta, 1999, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Posting Populer